Chapter 2

3.4K 684 82
                                    

Pria itu langsung siaga. Di bawah cahaya samar matahari yang enggan terburu-buru, dia dapat melihat sesosok manusia keluar dari pondok bambu, berjingkat-jingkat, berusaha tidak menimbulkan suara. Arga pasti sudah akan menyerangnya jika tidak menyadari bahwa makhluk mencurigakan itu adalah Timun.

Gadis itu membawa parang setengah berkarat beserta dengan tali tampar di kedua tangannya. Dari gelagat, Arga dapat menduga kalau Timun sedang melanggar larangan sang ibu. Pria itu mendesah tajam, membuat Timun terdiam sejenak dan memandang sekeliling, mendengarkan kesunyian menjelang fajar. Suara jangkrik sudah berhenti sementara suara pagi hewan-hewan belum sepenuhnya bangun, hanya ada gaung ayam berkokok dari kejauhan, mungkin dari desa di kaki gunung. Gadis itu menurunkan kesiagaan ketika tidak melihat siapa pun di sekitarnya.

Selagi Timun melanjutkan perjalanan, Arga mempertimbangkan pilihan dan akhirnya memutuskan untuk mengikuti Timun daripada melindungi sang ibu. Alasannya jelas, Timun lah yang sedang diincar.

Langkah gadis itu makin cepat seiring dengan menjauhnya dia dari rumah. Penunggu Gunung tidak kesulitan mengikutinya. Arga menyamarkan diri bersama suasana fajar yang masih gelap. Selama dua hari dia berjaga, tidak ada raksasa yang datang, mungkin karena seluruh gunung dapat merasakan kehadirannya. Dia berharap keadaan ini terus berlanjut.

Arga melihat Timun menurunkan tali tampar dan mulai membabat dahan pohon-pohon kecil dengan parangnya. Gadis itu cekatan, tak butuh waktu lama untuk mendapatkan persediaan kayu bakar untuk dua hari. Ketika matahari bergerak ke atas kepala, Timun sudah mengikat hasil kerjanya dari subuh dan saat ini dia sedang beristirahat sambil meminum bekal air yang ditampung pada bambu.

Arga terdiam, berpikir, mengambil mustika dari tubuhnya akan lebih mudah bila dia berada dekat dengan gadis itu. Menyeringai, pemuda itu mengubah penampilannya menjadi seorang pertapa tua. Wajahnya yang tampan menjadi keriput dan ditumbuhi janggut perak menjuntai hingga ke leher. Bajunya berganti menjadi putih, agak kumal, dan untuk melengkapi penyamarannya, sebuah tongkat kayu dimunculkan untuk membantu berjalan. Setelah merasa penyamarannya sempurna, Arga berjalan tertatih ke arah gadis yang duduk bersandar pada batang pohon besar.

"Permisi, Nduk," sapa Arga dengan suara yang dibuat ringkih. "Apakah bisa memberikan sedikit air kepada pertapa tua yang lelah ini?"

Senyum langsung merekah di wajah cantiknya. Tanpa banyak bertanya, dia memberikan air yang masih ada di dalam bambu. "Silakan, Mbah. Habiskan saja."

Bukan hanya itu, Timun merapikan dedaunan di sampingnya dan mengambilkan batu untuk memberikan tempat duduk bagi orang tua yang kelelahan.

"Mbah mau ke mana?" tanyanya setelah Arga nyaman bersandar pada batang pohon.

Arga tertawa kecil dengan suara serak. "Mbah sedang berkeliling memeriksa gunung. Akhir-akhir ini, ada raksasa yang berkeliaran. Katanya, dia sedang mencari seorang gadis."

Pria itu terdiam dan mengamati perubahan raut wajah Timun. Gadis itu menegakkan tubuhnya dan tanpa sadar menelan ludah.

"Ada apa, Nduk?" tanya sang kakek empati. Arga merasa dia layak mendapatkan penghargaan sebagai aktor terbaik di Bawanapraba.

"Ng-nggak, Mbah." Dia terdiam sejenak dan berpikir sebelum akhirnya melanjutkan, "Mbah, tadi bilang, Mbah adalah pertapa. Apakah Mbah punya kesaktian buat mengalahkan raksasa?"

Arga mengusap pelan dagunya, berpura-pura berpikir. "Tentu saja, Nduk. Walau Mbah kelihatan lemah seperti ini, Mbah punya banyak aji-aji. Mengapa kamu menanyakan itu?"

"Karena ... aku adalah gadis yang dikejar-kejar oleh raksasa itu ...."

Mata Arga membulat. "Lah, kok bisa, Nduk? Coba ceritakan, apa yang membuat kamu dikejar?"

Timun memainkan anak rambut yang terjatuh dari konde dan menatap ke arah dedaunan gugur di kakinya. Dia berusaha mencari kata-kata yang tepat.

"Waktu itu, Ayah baru saja meninggal. Ibu kesepian harus tinggal di gunung sementara Beliau sudah tidak punya sanak saudara." Timun sekarang memainkan tabung bambu kosong di tangannya tetap memandang tanah. "Lalu seorang raksasa datang, menawarinya sebuah timun ajaib, dengan perjanjian bahwa dia akan meminta anak yang lahir dari timun itu. Ibu yang putus asa menerima tawaran itu dan ketika timun itu dibelah, lahirlah aku ...."

Arga menyipitkan matanya. "Sudah berapa lama kejadian itu terjadi, Nduk?"

"Lusa adalah ulang tahunku yang keenam belas dan raksasa itu menagih janjinya. Dia memintaku untuk ikut bersamanya."

Pikiran Arga tidak lagi terfokus pada masalah Timun, sebaliknya, pria itu malah mengutuki diri dalam hati. Berarti sudah belasan tahun sejak dia pertama kali datang ke tempat itu. Dia harus mengendalikan kebiasaan tidurnya. Ingin sekali dia menampar-nampar diri, namun tatapan mengiba Timun membuatnya sadar ada hal yang lebih penting.

"Jadi, apakah Mbah bisa membantuku dan ibu untuk selamat dari kejaran raksasa?" pinta Timun memelas.

Arga menghela napas. Dia berani bertaruh kalau raksasa itu yang mencuri mustika dari tangannya dan membuat timun ajaib dari kekuatan Sang Prabu. Pantas saja kekuatan benda itu terpancar begitu kuat dari tubuh Timun. Dia ingin mengambil mustika itu sekarang tapi ada hal yang lebih penting untuk dibereskan saat ini.

Arga sekali lagi menghela napas. Ada beberapa hal yang ganjil. Mengapa raksasa itu susah-susah menanam mustika menjadi seorang bayi? Bukankah lebih praktis bila dia langsung memakan pecahan kristal tersebut?

"Mbah?" tanya Timun ketika menyadari pertapa itu tersesat dalam pikirannya.

"Oh?" Arga tersentak kaget dan kembali ke dunia nyata. "Maaf ya, Nduk. Mbah malah ngelindur. Mbah bisa bantu--"

Perkataannya terpotong oleh  raungan dahsyat yang menggoncang gunung. Burung-burung langsung beterbangan meninggalkan sarang dan hewan-hewan kalang kabut berlarian. Timun terlonjak berdiri, menatap ke arah datangnya suara, Arga menyusulnya setelah berakting punya sakit punggung.

"Raungan Raksasa," ucapnya pelan sebelum wajahnya memucat cepat.

"Ada apa?" tanya Arga menyadari perubahan ekspresi Timun.

"I-ibu ...," balasnya terbata. "Raungan itu berasal dari rumah."

Kaki rampingnya langsung melangkah cepat, meninggalkan kayu bakar, parang dan Arga. Pikiran gadis itu sepenuhnya tertuju pada keselamatan ibunya. Sambil berdoa pada Sang Hyang agar wanita itu baik-baik saja, dia berlari pulang.

___________________________________

Um, aku ga tau harus komen apa hahahahah

Nikmati saja cerita ini sampai akhir ^^ kurang lebih cerita ini berjumlah 5 part dan satu epilog :D

Setelah ini aku akan melanjutkan ceritaku tentang tiga orang yang pernah kusinggung di author note Reminiscentiam hahahaha

Oh ya, aku sedang mengerjakan proyek sampingan CEO Project bersama Shireishou dan AstieChan jangan lupa mampir yah XD

See you!

[END] Timun Mas - Twisted Indonesian FolktalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang