Chapter 1

4.5K 748 238
                                    

"Sial!"

Arga terlonjak bangun. Napasnya terengah menyadari apa yang telah terjadi.

"Ugh! Berapa lama aku tertidur?" gumamnya kesal. Perlahan, ingatan lampau kembali kepadanya.

Setelah dia melompat ke tanah Jawa, dia berhasil tiba di lokasi di mana keberadaan mustika Sang Prabu terasa paling kuat. Beruntung, dia dapat menemukan pecahan kristal berwarna hijau terang itu tersembunyi di sebuah gua di gunung. Tidak percuma dia diberi kepercayaan sebagai penunggu gunung, Arga dapat dengan mudah merasakan apa yang terjadi di tempat yang dipijak.

Ah, Arga ingat, setelah menemukan kristal itu, dia memutuskan untuk terlelap sejenak. Tenaganya cukup terkuras karena perjalanan dan menggunakan kekuatannya untuk mencari kristal. Harusnya dia cuma tidur sebentar.

Se-ben-tar.

Pria itu ingin menghantamkan kepalanya ke tembok. Dia yakin, dia sudah tidur lebih dari setahun dan membayangkan wajah Adipati Utara mengejeknya karena kalah membuat kekesalan menggelegak. Arga menghela napas, sudahlah, lebih baik sekarang dia mengambil kristal milik Prabu dan kembali ke Bawanapraba ....

....

....

....

"ASU!" (Anjing!)

Kristal hijau berpendar itu lenyap!

Arga panik, jelas-jelas dia ingat kalau dia menaruh kristal itu dalam bungkusan kain yang dia dekap erat. Baru kali ini dia mengutuki kebiasaan tidurnya yang terlalu pulas, sampai-sampai dia tidak tahu kalau ada seseorang mengambil sesuatu benda penting dalam genggamannya.

Jika tadi dia ingin menghantamkan kepalanya ke tembok. Saat ini, dia sudah melakukannya.

Arga mengikuti sisa-sisa keberadaan kristal milik Prabu Bawanapraba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arga mengikuti sisa-sisa keberadaan kristal milik Prabu Bawanapraba. Untung saja, dia masih bisa melacak keberadaan mustika itu dan untungnya lagi, lokasinya tak jauh.

Pria itu mengernyit ketika melihat sebuah rumah dari bambu di hadapannya. Sederhana dan kecil. Terlebih lagi di tengah hutan, membuatnya bertanya-tanya, siapa yang cukup gila membangun rumah terpisah dari pemukiman penduduk. Sejenak dia ragu, tapi beban untuk segera menyelesaikan tugasnya membuat pemuda itu mengerang.

Belum berjalan dua langkah, dia mendengar suara-suara dari dalam rumah, membuatnya kembali mundur ke dalam semak.

"Timun!" Suara itu makin jelas dengan intonasi tinggi khas wanita berumur. "Jangan pergi dulu, Nduk."

"Tapi, Bu, aku bosan di dalam rumah terus," balas suara lain yang lebih muda.

Arga dapat segera melihat seorang gadis remaja berjalan keluar dari pintu yang hanya berupa lembaran kain kumal. Pemuda itu mengangkat alis, gadis itu tipikal perempuan yang pasti digoda habis-habisan oleh Adipati.

Mripate ndamar kanginan
Untune miji timun
Idepe tumenga ing tawang
Pipine nduren sajuring
Lambene nggula satemlik
Lan alise nanggal sapisan(*)

Tembang lama berputar dalam kepala Arga. Dalam satu kata, Timun Mas cantik, tapi bukan kecantikan yang membuat Arga berdesir. Tidak, Arga mengingatkan diri, gadis di hadapannya lebih cocok menjadi cicit buyutnya mengingat dia hampir lupa sudah berapa kali dia berulang tahun.

"Jangan, Nduk." Wanita setengah baya yang memakai jarik sederhana dan kebaya itu menarik tangan putrinya. Kekhawatiran terpahat jelas dalam guratan kerut wajah. "Gimana kalau raksasa itu datang dan nangkap kamu?"

Timun menghela napas. "Aku bisa menjaga diri. Lagian, aku ndak tega biarin Ibu nyari dan ngangkat kayu bakar, nimba air, dan nyuci baju di sungai." Gadis itu membalas sambil melepaskan tangan keriput itu dari lengannya. "Biar Timun saja yang kerja, Bu. Timun masih muda."

Mata wanita tua itu berkaca-kaca. "Tapi, Nduk, gimana kalau kamu dimakan sama Raksasa? Ibu ndak bisa kamu tinggal sendiri," ucapnya dengan logat jawa yang kental, sambil menyeka air matanya. "Lebih baik Ibu kerja, daripada kamu dimakan."

Ucapan sang ibu ditambah dengan ekspresi kesedihan yang mendalam membuat gadis muda itu menyerah. Dia menghela napas sebelum tersenyum lemah.

"Ya udah, Bu. Ndak usah nangis. Timun ndak kemana-mana." Sang gadis membelai lembut tangan ibunya dan menuntun wanita tua itu kembali ke dalam rumah.

Arga terpekur di tempat persembunyiannya melihat kejadian itu. Dia makin tidak ingin mempertemukan Adipati dengan gadis sesempurna Timun, terutama ketika dia menyadari bahwa mustika Prabu berada di dalam tubuh gadis itu. Arga menyeringai, sekarang dia harus mencari cara agar dirinya bisa mengambil serpihan kristal itu dari inangnya.

Tunggu.

Mereka bilang tentang raksasa. Firasat Arga tidak enak, raksasa berarti masalah. Demit berukuran sepuluh meter dengan gigi taring bawah yang mencuat ke atas itu hobi memakan manusia dan Arga  menebak, kalau makhluk itu mengincar pusaka yang ada pada Timun. Akan sangat berbahaya kalau dia berhasil, kekuatannya akan berkali lipat dan Arga akan kesulitan mengatasinya. Membayangkan hal itu terjadi saja sudah membuat Arga pegal. Lebih baik dia berjaga di sana, sambil pelan-pelan mengambil mustika dari tubuh Timun.

Rencana yang sempurna, puji Arga pada dirinya sendiri sambil mencari tempat yang nyaman untuk berbaring, hanya saja kali ini dia memastikan bahwa tidak akan menutup mata barang sejenak.

_________________________________

(*) Tembung Candra untuk menggambarkan kecantikan fisik seorang perempuan Jawa. Kurang lebih terjemahannya adalah

Matanya bercahaya seperti sumbu lilin
Giginya rapi seperti biji timun
Bulu matanya lentik
Pipinya seperti durian terbelah
Bibirnya merah seperti gula jawa
Dan alisnya seperi bulan di tanggal 1

Iya aku tahu agak aneh hahahaha tapi begitulah orang jawa menggambarkan wanita cantik

Aku berusaha memasukkan dialek jawa dalam percakapan. Kalau bingung bisa tanya lalu kita bingung bersama //plak

Nduk itu panggilan untuk anak perempuan yang lebih muda.

Ndak itu tidak

Dan iya, kalo orang jawa mengumpat, biasanya pake hewan imut itu. Hahahahah

CMIIW

Aku akan update Timun Mas tanpa jadwal tetap, tapi yg pasti seminggu sekali

Ciao!

[END] Timun Mas - Twisted Indonesian FolktalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang