Chapter 3

3K 637 58
                                    

Timun berlari sekuat tenaga. Tidak dia pedulikan cabikan dahan dan goresan yang melukai tangan dan kaki. Pikirannya hanya satu, keselamatan wanita yang selama ini membesarkan dirinya dengan penuh kasih tidak peduli dia lahir dari mana. Timun tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya bila terjadi sesuatu pada sang ibu.

Napas memburu dan kaki mulai keram, seperti berlari di lumpur. Rasanya makin sulit bernapas, tenggorokannya tercekik, namun gadis itu memaksa setiap otot bergerak, tidak peduli seluruh tubuhnya berteriak kelelahan.

Terdengar raungan lagi, lebih dekat, lebih ganas, dan Timun dapat merasakan kesakitan dari suaranya. Gadis itu menambah kecepatan dan saat menyibakkan dedaunan terakhir yang menghalangi pandangan, dia melihat sesuatu yang membuatnya terhenyak.

Seorang raksasa berdiri di hadapannya, benar-benar raksasa! Ini pertama kalinya dia bertemu dengan musuhnya dan hatinya langsung mengerut kecil. Makhluk itu menjulang tinggi melebihi pohon kelapa dan Timun harus mendongak hingga lehernya pegal untuk melihat sepasang iris hitam yang berada di tengah sklerosa berwarna merah, membuat gadis itu mundur selangkah karena takut. Gigi taring panjang mencuat dari rahang bawah ke atas hingga menyentuh ujung hidung bulat pesek terpasang di tengah wajah datar. Jelas tidak bisa dibilang tampan. Tubuhnya gempal berwarna coklat kusam dan hanya menggunakan kain penutup sewarna jelaga, memperlihatkan perutnya yang sedikit membuncit. Timun akhirnya mengerti kenapa sang ibu menyuruhnya sembunyi selama ini.

"Pergi!"

Timun dapat mendengar suara orang tua berbicara dengan nada memerintah. Getaran yang membuat kakinya lemas, berkurang. Dia melihat sang pertapa menghardik raksasa, berdiri terbungkuk membelakangi seorang wanita paruh baya, sambil memegang tongkat sementara tangan satunya berada di punggung. Walau dia hanya kakek-kakek, entah kenapa Timun tahu, pertapa itu dapat mengalahkan raksasa semudah membalikkan telapak tangan.

Raksasa itu menggeram kasar.

"Aku hanya menagih janji, Kakek tua." Suara itu seperti keluar langsung dari kerongkongan, mulutnya hanya terbuka sedikit sambil memperlihatkan sederet gigi runcing. Matanya berkilat marah. "Jika Anda benar-benar seorang yang bijak, Anda tahu siapa yang bersalah di sini."

Sang kakek tidak menjawab, hanya balas memandang sengit lalu mengetuk-ngetukkan tongkatnya di tanah.

"Kamu ndak bisa mengganggu mereka selama aku di sini."

Raksasa mendengus sebelum mundur perlahan.

"Hari ini aku mengalah. Besok, tepat saat gadis itu berusia enam belas tahun, dia akan ikut denganku," ancamnya sebelum berbalik dan melangkah pergi. "Perempuan itu sudah berjanji."

Langkahnya berdebum diselingi dengan suara kepakan sayap burung yang terbang karena terganggu. Timun menunggu beberapa saat hingga suara itu menjauh, sebelum mendekati wanita yang tampak lemas.

"Ibu!" Timun membantu menopang tubuh lunglai wanita ubanan itu. "Ibu ndak apa-apa?"

"Nduk," desah wanita itu sambil menahan tangis. "Piye iki, Nduk?"

Timun memeluk ibunya sambil menoleh ke arah sang pertapa yang menggeleng-gelengkan kepala. Rasa putus asa menelan semua harapannya. Mereka tidak punya kesempatan menang menghadapi makhluk semengerikan itu.

"Mbah tolong kami," pintanya memelas pada satu-satunya orang yang bisa menghadapi raksasa.

"Mbah ndak bisa ngelakuin banyak, Nduk," ucapnya menyesal. "Ibumu sudah kadung buat janji sama Raksasa dan janji harus ditepati."

Bahu Timun turun sementara sang ibu mulai terisak.

"Maafin Ibu, Nduk. Seandainya waktu itu Ibu ndak kesusu nerima tawaran dari raksasa." Suara tangis mengaburkan intonasinya.

[END] Timun Mas - Twisted Indonesian FolktalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang