1.2

2.3K 238 28
                                    

Percakapan Kami

---

“Hai, Ma,” aku membukakan pintu ketika terdengar suara mama memberi salam.

“Hai. Nggak les hari ini?” tanya mama, melepas flat shoesnya.

“Nggak. Ini Selasa.”

“Oh iya. Mama lupa.” Kami melangkah bersama ke ruang makan. Mama melanjutkan,  “Omong-omong, mama baru dapet job buat nangani novel debut penulis muda. Dia seumuran kamu loh, sedikit lebih tua sih. Kesempatan buat jadi penulis sekarang ini besar. Ada aplikasi di ponsel, khusus untuk dunia kepenulisan. Kamu bisa menciptakan karyamu sendiri di situ. Kamu juga bisa baca-baca karya penulis lain. Siapa tau dilirik penerbit. Asik ‘kan? Nama anak mama ada di sampul buku yang masuk ke pajangan best seller.”

Aku tahu maksud mama. “Intinya?”

“Nggak mau dicoba? Bikin tulisan sendiri, dan bla bla bla.”

Sudah kuduga. “Aku nggak bisa.”

“Kata siapa?”

“Kataku barusan.”

“Memang kamu bisa tahu potensimu sendiri, bisa nilai diri sendiri? Hebat banget,” mama terkekeh. “Terus, yang kemarin-kemarin nanyain ‘Ma, aku enaknya masuk jurusan apa nanti? Aku bingung’ itu siapa ya?”

“Tapi pokoknya, aku nggak bisa nulis, Ma. Aku nggak punya bakat.”

“Emang udah dicoba?”

“Belum.”

“Nah.”

“Nah?”

“Siapa tahu kamu bisa jadi penulis besar. Dewi Lestari, Ayu Utami, Primadonna Angela, Winna Efendi, Andrea Hirata, Tere Liye. Atau mungkin Agatha Christie, Enid Blyton, Dan Brown, J.K. Rowling, Arth—“

“Itu sih ketinggian, Ma.”

“Kamu suka baca buku. Itu udah jadi modal utama sebagai penulis.”

“Aku nggak jago nulis.”

Mama terdiam sejenak. “Wah, sayang sekali. Padahal mama berharap. Kamu tahu ‘kan mama suka banget sama buku?”

[]

LACUNA [Wattys Wild Card 2018]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang