2.2

1.7K 240 40
                                    

Akhir-akhir ini aku cukup sibuk hingga lupa waktu makan. Beberapa hari yang lalu, aku bahkan lupa sama sekali tak menyentuh makan siangku hingga pukul setengah tujuh malam. Keterlaluan memang. Padahal aku sendiri tahu kalau tidak baik membiarkan perut kelaparan dalam di tengah kesibukan yang menuntut seseorang untuk berpikir.

Berpikir butuh tenaga. Tenaga asalnya dari makanan. Bagaimana bisa aku melupakan itu?

Kalau kupikir lagi, sangat disayangkan apabila di saat-saat seperti ini aku mendadak sakit karena kelalaianku sendiri. Dua hari lagi untuk mencapai tanggalnya, dan aku harus menjaga kesehatanku sampai di hari penting itu.

“Kurang lima belas menit, on air ya?” gadis sebayaku yang membawa berkas-berkas di tangan kirinya menghampiriku sambil menyerahkan selembar kertas berisi daftar pertanyaan untuk wawancara nanti.

Aku mengulas senyum.

Seperti yang lalu-lalu, aku memejamkan mata untuk berdoa sebentar. Aku selalu berusaha agar jangan sampai lupa bersyukur setiap saatnya. Aku menyempatkan diri, setiap hari, untuk berterimakasih atas hari-hariku. Aku merasa beruntung, karena setidaknya aku dapat memenuhi yang diinginkan mama meskipun sedikit terlambat.

Sesaat setelah aku berdoa, ponselku bergetar. Menampilkan nomor papa di layarnya.

“Halo, Pa?”

Halo. Jadwalmu sekarang, wawancara untuk penerbitan antologi puisi kedua ‘kan? Waktu itu kamu bilang judulnya—“

Lacuna. Iya, ini wawancara untuk antologi puisi. Dan mereka juga akan banyak membahas novelku yang sebelumnya bertahan berbulan-bulan di rak best seller.”

Ah ya. Lacuna. Artinya... ruang yang kosong, ruang yang hilang. Itu?

“Iya. A missing part, semacam itu.”

Hebat. Sekali lagi, papa ucapkan selamat. Seperti kata mama, kamu bisa kalau kamu coba.”

“Aku cuma kurang percaya diri sebelumnya.”

Benar. Semoga lancar. Papa mendoakan.”

“Terimakasih, Pa.”

Terimakasih yang sangat banyak juga untuk mama. Untuk cinta, doa, waktu, dukungan, semangat, keberanian, kekuatan, dan segala yang dilimpahkannya untukku.

Meskipun tanpa kehadirannya, ruang yang kosong itu akan selalu ada, setidaknya cinta dan doa mama tidak akan hilang dariku—selamanya akan tetap begitu.

Mama pernah berkata, meniru Sapardi Djoko Damono, “Mama mencintaimu. Itu sebabnya mama tidak akan pernah berhenti mendoakan keselamatanmu.”

Cinta mama sederhana, tapi juga tidak sesederhana itu. Kesederhanaan mama menciptakan rasa cinta. Papa dan aku mencintai mama. Sangat. Tanpa henti. Tanpa batas.

[]

LACUNA [Wattys Wild Card 2018]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang