Prolog...

112 4 5
                                    


"Aku akan melindungi orang yang aku sayangi bahkan dengan nyawaku sendiri."

Sebuah pernyataan yang luar biasa. Sebuah prinsip yang mulia. Dan sebuah sifat bagi orang orang yang heroik di dalam cerita.

Namun bisakah pernyataan itu diterapkan dalam A-RPG?

Sebuah permainan yang menghubungkan manusia dengan insting, ingatan, kekayaan, dan juga kematian.

***

Tidak semua orang hidup dalam kesejahteraan yang sama. Ada yang minum kopi di pagi hari, ada juga yang minum air sungai yang bercampur limbah pabrik. Kehidupan memang diciptakan dengan penuh ketidakadilan. Untuk apa? Entahlah. Yang jelas, hidup bukanlah untuk membiarkan dirimu dalam kesengsaraan. Jika harus memilih, hidup yang sengsara karena mengejar keadilan atau hidup bahagia karena berbuat tidak adil, maka mayoritas manusia akan memilih pilihan yang kedua. Sudah sewajarnya.

Begitu pula hidupku. Aku tidak berbeda dari manusia yang lain. Aku menggunakan segala cara untuk memperoleh kebahagiaan bahkan sampai mencurangi orang lain. Kalau orang-orang menganggapku jahat, terserah. Itu hak mereka. Tidak ada sangkut pautnya denganku.

Namun manusia adalah makhluk yang membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup. Walau hanya seorang gamer sekaligus pengangguran kelas teri, aku tak menolak pernyataan tersebut. Reina. Itulah nama orang yang selalu menjadi teman bicaraku. Walau hanya sebatas game. Walaupun itu adalah nama akunnya di game yang kami mainkan bersama. Setidaknya dia bukanlah sebuah bot.

Reina benar-benar satu-satunya manusia yang aku ajak bicara selain orang tuaku. Walau aku tinggal dalam sebuah kontrakan kecil di daerah perkotaan, aku tak memiliki siapapun yang bisa aku ajak bicara. Bukan karena sombong, tapi aku tak ingin hidupku dicampuri oleh mereka yang tidak mengerti diriku.

Aku menganggap Reina adalah teman yang setia. Dia juga seorang gamer berat. Hampir setiap hari online. Saat aku bertanya mengenai dirinya, ia bercerita tanpa ragu. Ia menceritakan alasan kenapa ia suka bermain game tersebut dan lain sebagainya.

Hari hari terus berlanjut. Namun Reina sudah jarang online. Tertulis di status akun gamenya kalau dia sudah 7 hari tidak online. Tentu ada perasaan sedih dan kecewa, namun aku tak memiliki kontak apapun selain akun gamenya. Terus-terusan bermain game dan di dalam ruangan tidak membuatku sehat. Biasanya pada tengah malam, aku sering keluar untuk membeli majalah atau camilan.

Di sebuah minimarket yang tak jauh dari tempatku. Aku melihat sebuah koran yang dijual. Sebuah judul berita yang menarik. "10 orang menghilang tanpa jejak selama satu minggu". Pernyataan ini mengingatkanku pada Reina. Aku bergegas membeli keperluanku dan koran ini.

Setibanya di kontrakan. Aku mendapatkan pesan dari orang tuaku. Yang intinya, aku tidak akan mendapatkan uang kiriman lagi. FU*K FU*K FU*K!!! Aku membentak bentak tak jelas. Marah tak terkendali. Tak lama setelah itu, Aku memutuskan untuk membaca koran tersebut.

Dijelaskan dalam media cetak itu, kalau mereka yang menghilang itu ikut serta dalam sebuah game yang menawarkan hadiah yang besar. Namun pemerintah tidak bisa menuntut pihak pengembang game tersebut karena dalam persyaratan itu dijelaskan bahwa pihak pengembang tidak bertanggung jawab terhadap para pemain.

Menarik. Tapi siapa juga yang akan mau memainkan game yang sangat berbahaya seperti ini. Karena uang? Hah! Yang benar saja, nyawa itu jauh lebih berharga dari pada uang. Dasar orang orang bodoh! Aku terus terusan mengutuk kebodohan orang orang yang ikut dalam game tersebut.

Hari demi hari berlanjut. Korban dari game tersebut terus meningkat. Namun sekali lagi pemerintah tak bisa berbuat apa-apa. Karena tidak ada bukti kalau orang-orang hilang yang memainkan game tersebut memiliki keterkaitan yang jelas terhadap pihak pengembang game tersebut.

ANTAGONIST RPGWhere stories live. Discover now