CHAPTER 8: Night at Hogwarts

2.2K 233 13
                                    

Berita tentang Tom yang diserang oleh "kembaran" Daniel itu rupanya sudah tersebar dengan cepat hingga seisi sekolah, dan berhasil menutup isu menghilangnya ketua murid di sekitar toilet perempuan tadi malam—berita itu dengan cepat tersebar entah bagaimana—meski ada juga yang mengait-ngaitkan kabar itu dengan peristiwa tadi pagi. Karenanya, Daniel mendapat banyak tatapan cemooh dan cibiran yang membuatnya frustrasi dalam seharian ini, meski begitu, tidak sedikit juga murid-murid yang cuek ataupun mendukungnya karena didasari rasa benci terhadap Tom. Sehingga Professor Maggie harus memberikan klarifikasinya pada ribuan anak di Aula Besar ketika makan malam tiba. Daniel sudah menjelaskan padanya apa yang terjadi di koridor pagi itu.

Tom sudah terbangun sekitar setengah jam yang lalu, tepat waktunya makan malam dan beruntung, "teman-teman" mereka belum kembali datang untuk menjenguknya. Terakhir kembaran Rupert, Matthew, dan Daniel itu datang pada waktu makan siang (Evanna tidak bisa datang karena Rupert bilang dia sedang sibuk di perpustakaan), membawakan mereka camilan yang katanya adalah kesukaan Emma dan Tom, dan mereka berjanji untuk datang kembali saat selesai makan malam. Sehingga Emma punya leluasa untuk menjelaskan pada Tom tentang apa yang telah terjadi selama dia tak sadarkan diri. Saat ini mereka masih terjebak di Hospital Wing dan luka-luka yang tadi merusak bagian hidung dan pelipis Tom sudah tidak tampak sama sekali, tak berbekas.

"Maksudmu, kita..?" tanya Tom untuk yang kesekian kalinya. Dahinya tak berhenti mengernyit sejak Emma menjelaskan padanya.

"YES."

"Tapi— tapi ini tidak mungkin, Emma."

"Oh please, Tom, berapa kali harus kukatakan? Kau pikir aku mengada-ada?" Emma menghela napas keras di bangkunya. "Menurutku tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang selain bersikap normal, membiarkan semuanya terjadi dan kita bisa sekaligus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, Tom." Katanya kemudian pasrah, memandangi sepatu pantofel hitam yang jelas bukan miliknya.

"Mengapa kita tidak jujur dan menjelaskan semuanya pada mereka? Siapa tahu mereka bisa membantu kita mencari jalan keluar?"

"Kau pikir mereka akan percaya?" Emma mengangkat alisnya. Tom membetulkan posisi duduknya dengan gusar, menghadap Emma. "Bagaimana mereka bisa tidak percaya sementara mereka semua tinggal di dunia yang tidak bisa kupercaya?!"

Kali ini Emma yang terdiam. Tom ada benarnya. Tetapi Emma sudah memikirkan hal ini cukup lama sejak tadi. Tak ada lagi yang bisa mereka lakukan, pikirnya. Tom mengacak-acak rambutnya gusar lalu turun dari ranjangnya dan Emma baru akan mengucapkan sesuatu ketika Tom menginterupsinya, membuat jantungnya nyaris copot.

"THAT'S FICTION, EMMA! ALL OF THOSE! Bagaimana bisa aku percaya semua ini begitu saja?!!"

"Dan bagaimana bisa aku bercerita bohong padamu, Tom! Kau pikir aku senang berada disini?" Emma tak kalah jengkelnya. Ia sudah berkali-kali menjelaskan padanya panjang lebar. Wajar kalau Emma terpancing karena sikapnya, dan lagipula, Tom sekalipun tak pernah membentaknya seperti itu, ini pertama kali baginya. Mereka akhirnya terdiam sesaat. Meredam emosi masing-masing. Tom tidak bisa percaya dengan semuanya, sekalipun ia tahu Emma tidak mungkin mengada-ada dengan cerita itu. Terlebih lagi dengan kondisinya yang baru saja pulih dari kutukan aneh itu, di ruangan ini, ruangan yang sudah tak asing lagi bagi Tom ketika dia ingat proses shooting Harry Potter—hanya saja tanpa berbagai macam peralatan shooting dan latar belakang hijau untuk CGI, dan ini lebih megah dan luas di banding dalam film.

Tidak kuasa berada dalam situasi seperti sekarang, Emma akhirnya membuka suara. "Kalau kau memang punya ide briliant yang bisa membawa kita pulang sekarang juga, beritahu aku." Katanya ketus.

Tom hanya menatap lantai di bawah yang melewati kakinya. Ia sama sekali tidak memiliki jawaban tetapi ia juga tidak ingin melakukan hal yang disarankan Emma. Ia takut mereka tidak akan pernah kembali jika harus melakukannya. Dan ia tidak bisa membayangkan terjebak selama-lamanya di dalam dunia itu. Yang ada di pikirannya hanyalah mengatakan yang sebenarnya kepada mereka. "Tidak bisa, Em, kita tidak bisa diam saja. Kalau ada sesuatu yang bisa membawa kita kesini, mereka pastilah punya sesuatu juga yang bisa membawa kita pergi dari sini."

Time Turner: First Love Never Die [Feltson]Where stories live. Discover now