3: Precious

159 30 14
                                    

Armya07

Rumornya, pelukis aneh itu tinggal di sebuah rumah kecil di ujung kota. Dia memiliki kuas dan kanvas ajaib. Apa saja yang ia lukis menggunakan kedua benda itu, maka lukisannya akan menjadi nyata. Dia menjual beberapa lukisannya yang dipastikan laris setiap harinya. Dan, jika kau berhasil menarik hatinya—sebab hanya beberapa orang saja yang mampu—kau akan diberi sebuah lukisan gratis olehnya.

Berbekal kabar itulah aku pergi menemuinya. Bukan apa-apa, menurutku, hidupku sudah jauh tercukupi dan sepertinya aku tidak membutuhkan apa pun lagi. Alasanku menemuinya adalah untuk memastikan bahwa ia memang ajaib.

Aku mengernyit begitu melihat rumah tua nan kecil yang dihuninya. Di depan rumah itu, terdapat banyak lukisan yang dipajang—aku yakin mereka dijual. Kulangkahkan kakiku mendekat, dan aku bisa melihat seorang pria tua dengan rambut putih yang duduk di balik kanvas.

“Permisi, Tuan,” kataku.

Ia menoleh. Matanya menyipit saat ia tersenyum. “Ya. Anda ingin membeli lukisan?” tanyanya.

Aku berdehem sejenak, kemudian mengangguk kecil. “Saya ingin lukisan yang—uhm—yah ... kata orang bisa menjadi nyata.”

Pria tua tersebut menukikkan alisnya, membuatku sedikit gugup entah kenapa.

“Apakah anda bisa membuatkan saya satu?” Aku bertanya setelah sekian lama kami saling terdiam.

“Ah, tentu saja, Nona.” Ia berdiri. Tubuhnya bahkan lebih pendek dari yang kukira. “Menurutku, anda adalah wanita kaya dan sukses.”

Apa? Bagaimana dia bisa tahu?

Uhm, saya—”

“Anda juga wanita karir yang hebat di usia yang hampir mencapai kepala empat.”

Yah, usiaku 35 tahun, biar kuperjelas.

Pria itu memandangku intens, menelisik penampilanku dari atas hingga bawah. Kemudian, tatapannya berlabuh tepat di netraku. “Tetapi ... masih ada yang kurang dari kehidupan anda.”

Aku meneguk ludah. “A-apa itu?”

“Saya tidak dapat memberitahu, tetapi saya dapat melukiskannya untuk anda.”

“Baiklah, tolong lakukan,” pintaku.

Dia kembali duduk di kursinya. Mengambil salah satu kanvas putih yang kosong di sampingnya, ia mulai memolesnya dengan kuas bercat hitam.

Aku melihatnya melukis. Sungguh, ia sangat profesional. Kupikir setiap pelukis akan menggambar sketsanya terlebih dahulu untuk melukis, namun dia menggunakan kuas langsung. Dia memang aneh.

Pelukis tua itu menggambar sesuatu—yang kulihat seperti kepala seseorang—dan aku merasa skeptis. Namun aku tetap memerhatikannya hingga akhir. Jadi, saat dia menyapukan cat terakhir di kanvasnya, aku baru menyadari bahwa yang ia lukis adalah sesosok lelaki dengan wajah rupawan yang memiliki bahu lebar.

“I-itu ....” Aku menunjuk lukisannya, dan pria tua itu lantas mengangguk.

“Untuk anda.”

“Tetapi, saya tidak membutuhkannya—maksud saya, untuk apa anda melukiskan saya seorang lelaki?”

Dia terdiam, namun aku mengerti tatapannya. “Saya yakin anda membutuhkannya,” ujarnya kemudian, “dan anda tidak perlu membayar untuk ini.”

Yang benar saja! Aku juga tidak akan menerima lukisan itu!

Dua detik setelahnya, sebuah cahaya menyilaukan muncul dari permukaan kanvas itu. Aku menyipit, kututupi pandanganku dengan telapak tangan. Apa-apaan ini?

Ketika cahaya tersebut perlahan menghilang setelah lima detik dan aku telah bisa membuka mataku sepenuhnya, bisa kulihat presensi seseorang di depanku. Sontak, irisku melebar.

Karya indah itu ada di depan mata. Kini dia nyata.

Kutatap sosoknya yang tersenyum menawan sembari memandangku, lantas pipiku memerah. Sungguh, dia sangat tampan.

Selanjutnya, pelukis tua itu berkata dengan nada dalam. Ia mengatakan hal yang tidak pernah kusangka sebelumnya. “Namanya Kim Seokjin, dan kau harus menjaganya dengan baik dengan menjadikannya suamimu.”

Dan seketika itu, duniaku seakan runtuh menimpaku.

-fin-

Hipnotisme Jiwa ✔Where stories live. Discover now