"Tur, aku mau putus sama Bila," sahut Nabil dengan wajah sedih, senang, marah, bahagia. Silakan praktekan.

"Hah! Serius?" jawab aku terperangah.

"Iya. Aku udah nggak bisa hidup dalam sebuah pengekangan. Dia ternyata orangnya posesif," sahut dengan wajah berkaca-kaca.

"Kamu tahu? Menjalin suatu hubungan itu. Butuh dua orang yang saling membantu untuk membuat suatu jembatan. Dan jembatan itulah yang akan mengantar anda kawanku menuju level yang lebih tinggi. Paham?"

Nabil mengangguk.

"Kamu harusnya saling membantu dalam posesifnya Bila. Kalau kamu putus asa. Berarti itu orang yang pengecut. Kamu kan kuat? Cobalah untuk bisa mempertahankan hubungan kamu dengan Bila. Kamu dan Nabil, punya kemistri yang kuat, dan mungkin kemistri itu tidak akan membuat hunungan kalian menjadi menderita. Sekarang. Tenagkan dirimu. Masuk kelas. Kan sekarang ujian akhir semester. Fokuslah pada ujian, masalah cinta, dinomor duakan saja. Ok? Ingat, sekarang klub Ipa."

Nabil mengangguk, berterima kasih, dan berjalan pelan menuju kelasnya.

Bentar deh, aku mabuk apa yah? Pagi-pagi kayak gini kok otaknya kayak Mario Teguh. Mungkin nanti siang otakku menjadi Mario Bross.

***

Hari ini adalah hari pertama ujian akhir. Dan bertepatan dengan pertemuan klub Ipa.

Sebelum pulang sekolah aku menuju kelas tempat pertemuan klub Ipa. Aku masuk ke kelas tersebut, dan terdapat banyak siswa yang sudah berkumpul. Dan jadwal hari ini adalah membersihkan laboratorium. Ok. Langsung saja aku ke laboratorium yang masih berantakan ibarat kapal pecah terus berserakan kepingan-kepingannya.

Aku membersihkan di dalam laboratorium. Di pertengahan sesi bersih-bersih itu, terbayang wajah Annisa. Jantungku berdegub kencang. Berfantasi dia ada disini, melihat lesung pipinya, kacamata hitam yang anggun, dan mata yang sipit imut. Oh, mengapa harus begini.

Tanpa aku sadari fantasi itu membuatku tersenyum kecil dengan wajah yang memerah. Pada saat itu aku memegang tabung reaksi. Karena fantasi itu, aku melepaskan tanganku. Dan, tabung reaksi itu tertarik oleh gravitasi, jatuh ke lantai, dan pecah. Inilah yang dimaksud otakku menjadi Mario Bross. Dikendalikan oleh cinta Annisa.

Aku sadar. Dan tabung reaksi itu hancur berkeping-keping. Lalu guru pembimbing klub Ipa dating, dan terkejut melihatnya.

"Siapa yang melakukan ini?" tanya guru pembimbing itu.

Aku malu-malu dan mengacungkan tangan, "Saya bu..."

"Ya Allah Fatur. Ibu kan udah bilang. Hati-hati kalau megang barang laboratorium. Kalau gini siapa coba yang harus tanggung jawab?" dengan nada marah.

"Saya bu, saya akan tanggung jawab," aku menundukkan kepala dengan perasaan penuh campur aduk.

"Kalau sampai kamu seperti ini lagi, kamu sama ibu turunkan jabatannya. Kalau mengulangi, terus mengulangi. Dikeluarkan!!!"

"Iya, bu. Saya paham."

"Kalau paham, ngapain diam saja. Bereskan cepat. Sekarang!!!" dengan nada marah diturunkan beberapa not.

Aku mengangguk. Dan membereskan. Ibu pembimbing pergi.

Sedari tadi, banyak orang yang mengerumuniku. Dan sekarang pun masih.

"Tur, kamu nggak apa-apa?" tanya Alfa.

Aku diam.

"Tur, are you okay?" tanya Nabil.

Aku diam.

"Tur, lo nggak apa-apa kan?" tanya Huwa.

Dan pada hari itu, aku mengetahui. Hari-hariku berubah menjadi yang asalnya mentari, dikekang oleh awan hitam pekat yang akan segera mengeluarkan butiran air. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 13, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Satu (part 2)Where stories live. Discover now