bagian satu

12 0 0
                                    


82, 80, 84, 80, 77, 84, 89, 91, 87, 87, 80, 70, 85, 88, 81.

Aku menatap selebaran rapor kelulusan yang beberapa menit yang lalu jatuh ke tanganku. Tak jauh berbeda dengan rapor semester lalu, mungkin kalau dijumlahkan hanya naik maksimal dua angka. Jangankan naik, nilai diatas KKM kelas saja tidak ada.

Memang berat menjadi anak rata-rata. Sebesar apapun aku berusaha, seberapa banyak uang yang kukeluarkan untuk bimbingan belajar, masih saja kalah dengan kawan-kawan yang sudah dari dasarnya memang jenius.

Tiga tahun yang lalu aku diterima di sekolah ini dengan nilai yang lumayan. Melewati pendaftaran online, berhasil masuk dengan urutan ke-70 dari 72 anak jurusan IPS yang diterima. Selama tiga tahun menjadi ikan kecil di kolam yang besar.

Kalau dengan nilai yang seperti ini, bagaimana nanti bisa diterima di akademi militer. Bagaimana pula nanti bisa menyelenggarakan pernikahan dengan upacara pedang pora.

"Singgih!" aku melongok, mendapati Anggia sudah berdiri di sampingku. Tidak lagi menenteng rapor kelulusan, namun kedua tangannya membawa dua botol pilok. Senyuman tiga jarinya seolah tak punya masalah.

Anggia melirik rapor kelulusan yang ada ditanganku, menyimak deretan nilai yang kudapatkan. "Aku kan udah bilang kalau yang lebih dihargai itu hasil, bukan proses" aku ingat Anggia lah yang memaksaku menyontek sebelum ujian dimulai.

"Nilaimu bagus gara-gara nyontek?" tanyaku.

Gadis itu melengos, "Ya nggak juga sih, otakku masih padat, nggak begitu encer".

Gila, aku tertawa mendengar ucapan bodohnya itu.

"Udahlah, yang penting kamu lulus, sukses itu nggak berdasarkan selembar kertas rapor" aku menghargai bagaimana cara kawanku itu menghiburku, meskipun kata-katanya sudah jelas dikutip dari google.

Aku pun meraih spidol biru tua di kantong seragamku lalu memaksanya untuk membelakangiku. Kutuliskan beberapa kalimat di bagian punggungnya yang masih bersih dari coretan pilok.

Anggia sedikit mengelak, "Kamu nulis apa, Nggih! Jangan macem-macem lho!".

"Iya yang macem macem ini lho"

"Nggak usah gitu!"

Selesai aku menulisnya Anggia bersungut padaku, merebut paksa spidolku dan gilirannya menuliskan sesuatu dibalik punggungku. Berhubung sedari tadi aku belum kumpul dengan kawan-kawan lain, Anggia lah yang pertama kali mengotori seragamku.

"Yang aneh-aneh lho, Nggi!" candaku.

Anggia terkekeh dan menepuk punggungku, "Nggak boleh dilihat sampai nanti pulang ke rumah!" perintahnya.

"Nulis apa emang kamu? Ngajak nikah ya?"

Anggia melotot kearahku, "Nggak sudi!". Ia menyibakkan poni panjang yang menutupi sebagian wajahnya. Ketika itu aku baru melihat pergelangan tangannya.

Kuraih pergelangan tangan Anggia dan kuamati. Empat kupu-kupu sengaja digambar tepat di urat nadinya. Masing-masing dari kupu-kupu itu ditulisi nama juga. Ayah, Bunda, Mbak Shafira, Singgih jelek.

Aku mendengar beberapa waktu belakangan ia sedang menjalani butterfly project. Anggia adalah anak yang mudah stress dan confused dengan dirinya sendiri semenjak ia divonis kanker otak stadium tiga satu tahun yang lalu. Kalau ia sedang mengalami stress, ia bisa dengan mudah menyilet pergelangan tangannya, atau orang-orang biasa menyebutnya dengan cutting. Dengan menggambar kupu-kupu beserta namanya di pergelangan tangannya itu, diharapkan Anggia bisa memendam keinginannya untuk cutting supaya tidak menyakiti nama kupu-kupu itu.

SENANDIKAWhere stories live. Discover now