Bagian 3-Selesai

3 0 0
                                    

Aku melongo mendapati Yudhis benar-benar mendatangiku di rumah makan padang setelah setengah jam yang lalu menanyakan keberadaanku.

"Mau ngapain, Dhis?".

Yudhis mengedikkan bahunya dan menarik kursi di seberangku, "Aku nggak ada kerjaan dirumah, mending main sama kamu". Ia memesan porsi makanan yang sama denganku dan makan tenang setelahnya.

"Mendingan kamu temenin aku cari Anggia" tukasku.

"Wah, gerak cepat nih" kata Yudhis sembari menyuapkan sesuap nasi padang. "Udah kamu samperin ke rumahnya?".

Aku mengangguk, "Tapi dia udah pindah".

"Kemana?".

"Tadi aku dapat alamatnya sih," aku mengeluarkan secarik kertas yang diberikan oleh pemilik warung tenda biru tadi pada Yudhis. "Aku lihat-lihat.. Anggia pindah ke daerah Semarang Timur".

Yudhis memperhatikan sejenak, lalu mengangguk, menyetujui perkataanku sebelumnya. "Habis makan ini langsung kesana berarti?" Yudhis memastikan. Aku mengangguk sambil menyeruput es teh manis.

"Anggia.." Yudhis belum menyelesaikan pembicaraan kami mengenai Anggia. "Dia dulu sakit apa, Nggih?" memang banyak yang tidak tahu mengenai penyakit yang diidap Anggia. Hanya keluarga dan teman sekelas. Bisa dipastikan Yudhis pun tak paham dengan Anggia.

Aku tersenyum, mendengar pertanyaan Yudhis membuatku teringat bagaimana dulu aku selalu menemani Anggia jika sedang di ruang kesehatan.

"Kanker otak, stadium dua" ucapku kecut.

"Denger-denger dia mulai sakit sejak kelas dua belas ya, Nggih?" Yudhis masih saja bertanya.

Aku menggeleng, "Ketahuannya, bukan mulai sakitnya" kalau mengingat itu rasanya aku pun jadi ikut sedih.

Saat itu Anggia datang di hari pertama kelas dua belas seperti biasanya. Tersenyum menyapa, tertawa, bercanda ria dengan kawan-kawan lain. Namun aku mendapati obat yang ia sembunyikan di bekal makannya. Anggia, ia memintaku untuk merahasiakan dengan semuanya. Meskipun beberapa saat setelah itu orang tuanya sendiri yang mengatakan pada wali kelas.

Anggia tidak pernah mau mendapatkan perlakuan yang istimewa di sekolah. Ia tetap mengikuti pelajaran olah raga seperti anak-anak lain, tetap mengikuti kegiatan paskibra yang menguras tenaga, bahkan ketika sekolah kami bertanding futsal ia tetap suporteran di stadion.

Aku tahu Anggia memang istimewa.

"Nggih, kamu takut nggak pernah bisa lihat Anggia lagi?" pertanyaan Yudhis semakin bervariasi. Dan aku jadi terbawa suasana.

"Sempat sih" hari terakhir aku bertemu dia, setelah membicarakan mimpi-mimpi yang sebelumnya belum pernah kita bicarakan, aku sempat khawatir mengenai kesehatannya. Bagaimana nanti dia di Singapore, apakah berhasil atau tidak pengobatan yang dijalaninya. Kekhawatiranku ini semakin menjadi setelah aku tak mendapatkan kabarnya sama sekali setelah sekian lama.

"Apa yang kamu mau bilang kalau semisal ketemu sama Anggia?".

Sejenak aku berfikir. Sudah lama aku menimbang-nimbang hal ini. "Aku mau melamarnya" jawabanku itu membuat Yudhis terkejut.

"Wah.. Wah.. emang Singgih bukan bocah lagi".

Aku sama sekali nggak bercanda soal niatku untuk segera mengikatnya itu. Aku memang butuh Anggia di dalam kehidupanku. Aku ingin ia yang ada disampingku ketika aku pulang dinas, berlaku sabar denganku meskipun aku akan sering jauh darinya.

***

Satu jam kemudian kami sudah sampai di alamat dalam secarik kertas itu. Namun sayangnya, di alamat itu tidak di sebutkan secara pastinya dimana nomor dan block perumahannya. Pencarianku ini sedikit sulit.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 24, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SENANDIKAWhere stories live. Discover now