Prey

155 10 0
                                    

Tetesan hujan mulai mereda meski belum sepenuhnya berhenti. Livia, gadis berusia delapan tahun itu menatap jalanan kosong di depannya. Tak terlihat satupun orang yang lewat, bahkan satu kendaraan pun tidak terlihat melintas sejak dia berdiri di situ satu jam yang lalu.

Gadis berambut hitam itu merapatkan jaketnya, udara dingin bulan Desember terasa begitu menusuk, membuat bocah kecil itu menggigil hingga gigi-giginya gemeretak. Netra berwarna hitam pekat itu mengedar di sepanjang jalan kosong, dia mengembuskan napas lega saat mendapati sebuah mobil berwarna merah dari kejauhan.

Livia mengambil tas ranselnya lalu sedikit mendekat ke jalan, dia menunggu sampai mobil itu cukup dekat dan melambaikan tangan kecilnya, berharap siapa pun yang mengemudi dapat melihat dan menolongnya.

Mobil tersebut melambat, sebelum berhenti tepat di depan Livia. Kaca jendela terbuka, menampakkan pria dewasa berbadan subur, janggut tipis yang terlihat tidak terawat membuatnya terlihat tak bersahabat. Namun Livia sudah kehabisan pilihan.

"Hei, Nak. Apa yang kau lakukan di tengah jalan begini?" pria itu bertanya, suara kasarnya membuat Livia sedikit takut, tapi dia sangat butuh tumpangan.

"Aku tersesat, Paman, bolehkah aku minta tumpangan?" tanya Livia memelas, kedua matanya tak beralih dari wajah sang pengemudi, berharap dapat membuat pria berambut tipis itu merasa kasihan.

"Maksudmu kau hanya sendirian?" Pria itu hampir tak percaya.

"Iya, Paman." Kedua tangan Livia memeluk dirinya, berusaha mencari kehangatan saat angin dingin menyesap ke dalam tubuhnya.

Mata laki-laki itu memandangi bocah kecil di bawah gerimis tersebut. Ramut hitam dan kulit putih bersih, kedua mata bulat berwarna hitam menatapnya dengan penuh kepercayaan. Dari caranya berpakaian, anak itu tidak terlihat seperti orang miskin, jelas sekali keluarganya orang berada. Namun terlalu bodoh hingga membiarkan putri mereka yang begitu cantik sendirian di pinggir jalan.

Pria itu menatap aneh pada Livia, sebelum satu sisi bibirnya terangkat, diraihnya pintu penumpang dan membukakan untuk Livia. "Naiklah."

Livia tersenyum, segera berlari ke dalam mobil bersama pria baik yang menolongnya.

"Di mana kau tinggal, Nak?" Livia menatap laki-laki itu saat dia bertanya.

"Aku tinggal di dekat Gereja St. Andrew, apa paman tau tempatnya?" tanyanya polos.

"Ah tentu ... tentu saja aku tau." Dia menatap sang bocah dan menyeringai. "Kau tenang saja, aku akan mengantarkanmu pulang, kau duduk saja yang tenang." Sesuatu pada suara pria itu membuat Livia sedikit gugup, tapi dia mencoba menutupinya.

"Terimakasih, Paman. Aku ingin cepat pulang karena Tommy hanya sendirian di rumah," jelasnya.

Pria itu menatapnya beberapa saat, sesuatu melintas di balik matanya, sebelum kembali menatap jalanan dan bertanya. "Siapa Tommy?"

Livia tersenyum, menampilkan deretan gigi putih yang tersusun rapi. "Tommy itu adikku, dia baru lima tahun."

"Oh ...." Pria itu kembali tersenyum. "Sebaiknya tidak membuat adikmu menunggu terlalu lama, bukan?" bisiknya. Gadis kecil itu tertawa lega dan mengangguk.

"Siapa nama Paman?" dia kembali bertanya. "Aku Livia." Segera ia menambahkan.

"John, panggil saja aku John."

Mobil itu melesat cepat, melewati jalanan basah mengakibatkan percikan air dari keempat rodanya. Tidak terdapat plat nomor padanya, beberapa bagian mobil terlihat penyok, seolah telah beberapa kali mengalami tabrakan.

"Apakah rumahmu sudah dekat?" tanyanya, saat mereka melewati gereja St. Andrew.

"Oh, di sebelah sana, belokan kecil, memutari gereja." John mengangguk, mengikuti arahan yang diberikan Livia.

Mereka berhenti di depan sebuah rumah cukup besar, yang posisinya terbilang cukup jauh dari rumah-rumah lain di lingkungan tersebut. John melangkah keluar dari mobil dan mengunci pintunya, membuat mata hitam milik gadis delapan tahun itu membulat.

"Kau tunggu saja di situ, aku akan jemput adikmu." Dia mendatangi rumah tersebut, dan yah, tampaknya rumah ini dalam keadaan kosong.

John mencoba mengetuk pintu, saat tak ada jawaban, pria itu mencoba handle pintu dan terkejut saat menyadari kalau pintu tidak terkunci. John menyeringai, melangkah pelan ke dalam.

'Sebodoh apa orang tua dari anak-anak in,' pikirnya dalam hati.

Ruang tamu berukuran cukup luas itu terlihat lengang, tak ada satu pun orang di dalamnya. Mata coklat itu mencari-cari, mengamati ruangan demi ruangan, sebelum suara tawa kecil menangkap perhatiannya. Suara itu terdengar dari bagian belakang rumah. John mengikuti sumber suara, yang membawanya pada sebuah pintu tertutup.

Ia membuka dan mendapati bocah laki-laki duduk di tengah ruangan, bersama beberapa mainan yang tercecer di sekitarnya. John melangkah mendekat.

"Halo, Tommy." Bocah laki-laki itu menghentikan permainannya dan menoleh terkejut. Kedua mata yang terlihat identik dengat Livia menatap takut padanya. John menyeringai, sebelum matanya mendapati apa yang ada di tangan bocah laki-laki tersebut. Benda putih, yang terlihat seperti tulang manusia.

"Apa-apaan ini?" teriaknya tepat saat hantaman benda keras mengenai belakang kepalanya, menyebabkan laki-laki gemuk itu jatuh tersungkur. Tubuhnya menggelepar manakala pukulan bertubi-tubi mendarat ke kepalanya, menyebakan darah segar mengalir keluar bersamaan dengan cairan otaknya.

Tubuhnya berhenti bergerak, kepalanya terlihat hancur tak berbentuk. Bocah laki-laki itu menatap pada sang ayah yang masih memegang balok kayu yang di penuhi paku. Terlihat beberapa serpihan kulit kepala dengan rambut cokelat yang sudah dikotori darah, menempel pada ujung-ujung paku. Bocah itu tersenyum, mengusap wajahnya yang terkena cipratan darah segar.

Sang ayah merogoh kantong dari tubuh John yang sudah tak bernyawa, dia mengeluarkan satu set kunci dan memberikannya pada Tommy.

"Jemput kakakmu, aku harus cepat mengurus ini agar tetap segar."

Tommy mengambil kunci dari ayahnya, berlali keluar dengan tawa girang. Dia menuju ke mobil, di mana Livia masih terkurung di dalamnya. Bocah itu membukakan pintu, membiarkan kakak perempuannya keluar sebelum keduanya kembali ke dalam rumah.

"Pekerjaanku bagus kan, Yah?" tanyanya riang, mendekati sang ayah yang sudah mulai memotong bagian-bagian tubuh korban terbarunya.

Ayahnya menatap wajah sang putri. "Iya, tangkapan bagus, Liv," jawabnya bangga. "Tampaknya kau sudah belajar dengan baik," pujinya, membuat sang putri tersenyum senang.

Livia sudah terbiasa melakukan ini, sudah dua tahun sejak ayahnya mengajarkan gadis cantik itu 'berburu'. Dan sekarang Livia sudah sangat mahir dalam melakukannya.

Dia hanya perlu memancing orang-orang ke rumahnya, lalu ayahnya yang akan menyelesaikan semua. Dan selama dua tahun ini, dia tidak pernah gagal membawa hasil buruan yang membuat ayahnya bangga.

"Bagaimana dengan mobilnya, Yah?" tanyanya, mengingat mobil merah tanpa plat di depan rumahnya.

"Ayah yang akan mengurus, seperti biasanya."

Bocah itu tersenyum, senang karena sekali lagi telah membuat sang ayah bangga. Pria tadi terlihat cukup besar, Livia yakin dia bisa bertahan selama lebih dari seminggu, itu artinya, Livia tak perlu berburu sementara waktu.

Dia pergi ke kamar tidurnya, mengeluarkan jurnal kecil yang berhasil dia ambil dari mobil John, Livia meletakkan jurnal itu ke dalam lemari kecilnya, di mana ia menyimpan koleksi yang ia ambil dari setiap korban yang berhasil ia tangkap.

Matanya menangkap kotak hitam di sudut lemari. Livia mengambil dan membuka kotak tersebut. Sebuah kalung berantai emas dengan liontin merah muda berbentuk hati. Dia berjalan ke depan kaca rias dan memakai kalung tersebut lalu tersenyum.

Kalung ini adalah koleksi favorit Livia, berasal dari korban pertamanya, seorang gadis SMA berambut pirang bernama Claire.

Mendengar suara mesin mobil dari luar rumahnya, gadis itu tersenyum. Ayahnya harus segera membuang mobil tersebut, kemungkinan ayah akan menghancurkan mobil tersebut sebelum di buang.

FearWhere stories live. Discover now