Tipu Daya

129 9 0
                                    

Angin dingin bulan September berdesir lembut, membelai di antara rambut cokelat Dion, menyingkirkan helaian yang jatuh menutupi wajah putih kemerahan lelaki dua-puluh-tiga tahun itu.

Netra cokelatnya mengamati pergerakan di sekitar. Terlihat banyak orang dengan kesibukan masing-masing, sesuatu yang tak asing untuk senin pagi di ibu kota.

Pandangannya terhenti ketika sesuatu-atau tepatnya seseorang-mencuri perhatiannya. Seorang pemuda yang terlihat tak lebih dari lima belas tahun, berdiri tak jauh dari rel kereta yang saat itu dalam keadaan kosong. Pemuda itu tampak tersesat dalam pikiran, membuatnya tak menyadari kesibukan orang-orang sekitar yang berlalu lalang di dekatnya.

Dion menghela napas, meletakkan satu tangan ke dalam saku mantel abu-abu yang ia kenakan. Pria itu melangkah pelan, mendekati sang pemuda tersesat.

"Hei, Nak," sapa Dion, saat dia sudah cukup dekat dengan.

Remaja itu terkesiap, terlihat begitu terkejut saat menyadari bahwa seorang pria asing berbicara dengannya.

"Kau terlihat begitu jauh dalam pikiranmu," ucap Dion lagi, tak mempertanyakan mata kiri sang pemuda yang terlihat membengkak atau bibirnya yang pecah.

"Uh ... aku ingin sendiri," pemuda itu akhirnya menjawab, berusaha menghindari tatapan Dion.

Matanya menunjukkan perasaan yang berkecamuk, seakan seluruh beban di dunia ditimpakan di atas pundaknya. Tapi bukan berarti dia siap berbagi dengan seorang yang bahkan tidak dia kenal.

Dion tersenyum, menatap simpati kepada remaja laki-laki tersesat itu, lalu membiarkan matanya menatap lurus ke depan.

"Kau tau tidak harus seperti ini." Anak itu kembali mengangkat kepala saat mendengar kata-kata Dion, lalu tawa kecil terlepas dari bibirnya, sebuah tawa kosong tanpa rasa humor di dalamnya.

"Kalau tuan takut saya akan membunuh diri, maka tuan bisa tenang, saya tidak akan melakukan kebodohan itu." Dion menatap sang remaja, mengangkat sebelah alis seakan meragukan perkataannya.

"Lalu apa yang kau lakukan di sini sendirian-begitu dekat dengan jalur kereta- mengetahui tak lama lagi akan ada kereta yang melintas?" tanyanya tenang.

"Aku suka berada di sini untuk berpikir," jawab remaja laki-laki itu lirih. "Cukup menyenangkan melihat orang-orang begitu fokus dengan diri mereka masing-masing dan tidak menghiraukanku. Mereka begitu sibuk, dan aku bisa saja berdiri di sini berjam-jam dan tidak ada yang mempedulikan keberadaanku." Dia menarik napas dan menatap Dion dengan sebelah mata yang betul-betul hampir tertutup. "Ini begitu ... menenangkan."

Dion menelan saliva, memar pada leher remaja laki-laki itu tak luput dari pandangan pria tersebut.

"Teman-teman di sekolah mem-bully-mu." Itu bukan pertanyaan, Dion tau persis jawabannya.

Pemuda itu terkekeh, berjalan pelan di sisi rel bersama Dion yang mengiringi. "Entah bagaimana aku belum juga terbiasa setelah mengalaminya selama bertahun-tahun." Kalimat itu tak dimaksudkan untuk didengar, namun Dion menangkap jelas kata-kata sang pemuda.

Suara monoton seorang wanita mengabarkan kedatangan sebuah kereta, tak juga memecah kesunyian yang menyelimuti mereka. Keduanya seakan tersesat di dunia mereka sendiri.

"Apa yang menyebabkan mereka mem-bully-mu?" Dion kembali bertanya.

Anak itu menghela napas pelan, matanya memandang jauh ke depan. "Mereka tak butuh alasan. Hanya target mudah."

Dion mengangguk perlahan, selama beberapa waktu, mereka hanya diam.

"Luka di wajahmu, tampaknya dilakukan oleh orang yang jauh lebih besar darimu." Bocah itu terlihat tegang, tangannya mengepal di kedua sisi.

"Di mana ayahmu, Nak?" Suara bising kereta yang melintas, tak menghalangi remaja itu mendengar pertanyaan sederhana dari Dion.

Remaja itu tercekat, sekali lagi berusaha menghindari tatapan penuh selidik laki-laki bertubuh tinggi itu.

"Dia yang memukulimu." Lagi-lagi kalimat Dion keluar sebagai pernyataan. Remaja laki-laki itu tampak menelan saliva, kedua matanya memerah sebelum butiran bening terjatuh dari sudut mata. Dia mengelap air matanya dengan emosi memuncak.

"Ayah mengetahui aku menyukai seseorang." Dion menatap heran, tak menyangka kalau anak ini akan betul-betul bicara.

"Dia memukulimu karena menyukai seseorang?" tanyanya tak percaya. Bocah itu terkekeh getir.

"Dia seorang laki-laki." Mengangkat wajahnya, anak itu menatap mata Dion. "Aku menyukai seorang laki-laki." Dia tak mengalihkan pandangan, menunggu Dion untuk bereaksi--untuk menghakiminya.

"Oh ...." Satu-satunya respon yang keluar dari bibir pria bermata hitam itu.

"Silakan," tantang sang pemuda. "Sebut aku pendosa, seorang dengan penyakit kejiwaan, apa saja, aku akan mendengarkan."

Sisi bibir Dion terangkat. "Itukah yang kau pikir tentang dirimu?"

Anak itu mendongak kaget, itu bukanlah respon yang diharapkannya. "Me--mereka semua menganggap demikian."

"Lalu menurutmu? Apa yang kau pikir?"

"Ak ...." Remaja itu terdiam beberapa saat. "Aku menyukai seseorang, itu bukanlah sesuatu yang bisa 'ku kendalikan," suaranya dipenuhi keraguan saat mengucapkan kalimat tersebut. "Tuhan yang membuatku merasa seperti ini." Lanjutnya.

"Jadi menurutmu kau tidak salah?"

"Tidak," jawabnya lantang, "aku tidak seharusnya disalahkan atas sesuatu yang berada di luar kendaliku." Dia menatap Dion dengan mata memerah. "Tidak selama aku tidak membuat tindakan atas perasaan tersebut." Kalimat itu keluar tak lebih dari suara bisikan.

"Dan kau memutuskan kalau mengakhiri hidupmu di sini akan membuat semua lebih muda?" Anak itu menghentikan langkahnya dan menatap Dion bingung.

"Aku tidak ...."

"Kau berdiri di tengah perlintasan kereta, dengan sebuah kereta melaju kencang ke arahmu." Mata remaja itu membulat mendengar perkataan Dion.

Seolah tersadar dari pengaruh sihir, suara keramaian dan hiruk pikuk memekakkan sang remaja yang berdiri mematung. Matanya memandang jauh di sisi lain rel, menatap Dion-yang tadi berada di sisinya-menatapnya dengan senyum menyeringai.

Remaja itu tak sempat bereaksi, saat kereta api berkecepatan tinggi menyambar tubuhnya, disertai teriakan histeris saksi mata yang melihat.

.

Di kejauhan, Dion menatap datar pada keributan di hadapannya. Tak sedikit orang yang menangis histeris, bahkan pingsan, seakan mereka peduli. Saat pada kenyataannya, mereka semua hanya disibukkan oleh dunia masing-masing.

Matanya mengikuti beberapa orang yang mengumpulkan sisa-sisa bagian 'sang korban bunuh diri'. Meletakkannya pada kantong-kantong plastik, untuk tindak penyelidikan kemudian.

"Dia terlihat murung, sebelum kemudian mendekati rel begitu kereta mendekat. Orang-orang mencoba meneriakinya tapi anak itu tidak mendengar...." Terdengar sebuah suara menjelaskan pada seorang petugas kepolisian.

Dion tau, mereka tak sepenuhnya peduli. Semua hanyalah sandiwara, untuk mendapatkan pengakuan bahwa mereka adalah manusia.

Bahkan tak akan butuh waktu lama bagi mereka sebelum betul-betul melupakan remaja malang tersebut, hingga datang korban selanjutnya.

Dion sudah sering melihat semua ini. Remaja itu bukan manusia pertama yang ia kelabui. Tugas Dion sederhana, dia memancing mereka, para jiwa tersesat, menggiring mereka pada kebinasaan.

Manusia-manusia itu berpikir bahwa semua kematian itu adalah kesengajaan. Perbuatan bunuh diri, yang pada kenyataannya, tak kurang dari setengah kasus tersebut merupakan tipu daya Dion semata.

FearWhere stories live. Discover now