18. Curhat sama Bocil

2.4K 358 29
                                    

AILA POV

"Gimana hasil tes kemarin?" Tanya gue ketika kami sedang di jalan pulang. Adrian yang nyetir, syukurlah!

Senyum lebar langsung mengembang di wajah Adrian. Gue gak ngerti, emang pertanyaan barusan kaya coklat gitu yang bisa bikin orang tiba-tiba happy?

"Aku lolos Kak, gara-gara Kakak! Makasi banget ya udah nemenin!"

"Hor? Lolos mah gara-gara kamunya bisa, bukan karena ditemenin aku!"

"Ya pokoknya makasi Kak udah temenin aku kemarin."

"Hemm!"

"Hasil kakak gimana?"

"Gak tau, yang bikin degdegan itu bukan soal LPDP-nya Adrian, tapi kampusnya. Aku daftar ke Jerman, kalo lolos ya beasiswa mah bisa dapet dari mana aja, gak mesti LPDP!"

"Jadi syarat dapet LPDP tuh gimana sih Kak?" Tanya Adrian.

"Yang jelas kamu harus diterima dulu di univ yang kamu mau. Jadi ya tes dulu, abis itu baru ajuin beasiswa. Tapi dari kampusnya juga kadang nawarin langsung. Nah ini aku bareng, usulan proposal udah dikirim, terus inisiatif tes beasiswa."

Adrian mengangguk, entah dia ngerti apa engga. Semoga sih beneran ngerti karena gue males jelasin lebih panjang, kecuali kalau dia emang mau nerusin kuliah lagi, baru dah gue jentre-in.

"Bidangnya Kak Aila tuh burung?"

"Yup!" Jawab gue singkat. Adrian lagi-lagi hanya mengangguk.

"Kak mau nanya yang pribadi boleh?"

Kali ini gue menoleh, Adrian tersenyum tipis ke arah gue sebelum kembali melihat jalanan.

"Tanya dulu aja."

"Mamanya Kak Aila orangnya kaya tukang paksa ya?"

Gue tersenyum sambil mengangguk.

"Yeah, Mama berhasil maksa Shila buat nikah sama Kevin. Tapi belum berhasil maksa aku buat nikah, gak tau lah sama orang tua, untung aku anaknya bebel!"

"Kak Aila anti nikah emang?" Tanya Adrian.

"Engga, cuma ya menjalani apa yang ada di depan mata aja, punya rencana jangka panjang emang bagus, tapi ya ngapain berburu masa depan kalau masa sekarang masih menuntut untuk diurusi?"

"Ohh gitu, kirain Kak Aila yang anti nikah."

"Jujur yak? Lima tahun lalu aku udah mau nikah, tapi batal karena alasan konyol."

"Alasan konyol? Gak mungkin lah kak rencana sebesar pernikahan gagal karena hal konyol."

"Lha terus apa namanya kalau kamu batal nikah cuma karena pasanganmu dan papamu beda pendangan politik?"

"Hah?"

"Yeah, calonku dulu sama Papa beda pilihan presiden. Aku musti jadi penengah mereka ketika berdebat, dan saat aku tahu kalau calonku ini gak bisa menghargai Papa dan malah menghina pilihan Papa, aku mundur. Aku tahu Papaku kaya apa, Papa bukan orang yang kolot, Papa santai, hidupnya lebih banyak di pasar karena di sanalah beliau kerja, berbaur sama orang-orang dari semua kalangan, jadi ya gak asal pilih. Sementara calonku, dari dari dulu udah kaya, hidup seneng, kuliah di luar ngeri pake biaya sendiri, suka-suka laah. Jadi daripada meneruskan dengan orang yang seperti itu, mending aku mundur kan?"

Adrian melirik, sekilas gue menangkap tatapan prihatin darinya yang terasa tulus sekali, dan entah kenapa gue seperti ingin cerita lebih banyak kepadanya.

"Kamu tau? Pas aku batal nikah, calonku itu dideketin sama temen kecilnya. Aku sendiri ikutan proyek ekspedisi Lengguru, di sana aku ketemu peneliti Prancis, dia udah Profesor dan menawarkan diri jadi pembimbing S2 aku, jadilah selesai ekspedisi aku lanjutin kuliah. Penelitian di Papua dan pas selesai, aku kembali ke kantor, mantan calonku itu udah jadi suami orang."

Dunia Abu-abuWhere stories live. Discover now