Prolog

15 2 0
                                    

Can't Help Falling In Love - Elvis Presley

Jangan lupa tinggalkan Jejak ;)

.

.

.



Panas sekali, tetapi cowok itu tetap semangat mengelilingi lapangan basket kompleks. Aku jadi curiga kalau dia sedang dalam proses diet ketat. Akan tetapi hei, coba perhatikan bandannya yang kecil, ah bukan, dia kerempeng. Kalau ayahku bilang, kutilang alias kurus tinggi jangkung. Ya Tuhan, aku jadi memperhatikan kondisi diri sendiri. Pendek, berat badan lumayan, dan ...ouh warna kulitnya bahkan lebih baik dari pada aku.

Di tampan. Aku yakin nggak akan ada yang menyanggah saat mengatakan itu. Bahkan jika digambarkan secara detail melalui tulisan ini, nggak mungkin benar-benar bisa menggambarkan sebenarnya. Yang aku dapati ketika mengamati wajahnya dari jarak puluhan meter, ada aura menarik. Barangkali dia adalah bentuk nyata dari tokoh wattpad yang selama ini dikagumi penggemarnya. Si tampan yang punya fisik mendekati sempurna, agak badboy tapi penurut dengan pacarnya, kebutuhan finansial yang lebih dri cukup, pun dikelilingi cewek cantik.

Ough, Yaya. Berhenti memikirkan bahwa dia juga laki-laki yang akan suka dengan cewek sepertimu. Itu benar-benar hal mustahil yang enggak mau hilang dari otakmu saja. Apalagi ... ah! Sudahlah. Kenapa aku justru sibuk memikirkan cowok yang tidak jelas asal-usulnya. Dan ... aih, aku lupa perintah ibu. Astaga Yaya, selamat akan mendapat ceramah panjang di pagi yang sejuk ini.

Secepat ketika bel istirahat berbunyi dan aku sudah kebelet mau ke kamar mandi, secepat itu pula aku saat lari terbirit ke arah ujung lapangan ini. Namun belum juga berlari sejauh sepuluh meter, suara seseorang sudah membuatku berdegub kencang.

"Hey!"

Aku masih diam mematung saat suara itu terdengar kedua kalinya.

"Hey, yang pakai baju kuning!"

Sejenak pikiranku seperti mengawang, memikirkan tadi aku memakai baju warna apa. Dan benar saja bahwa yang dimaksud adalah aku. Aish, siapa juga yang ada di lapangan ini selain aku memangnya? Ya Tuhan ... cowok tampan wattpad versi dunia nyata yang memanggil aku?

Aku memutar kepala, slow motion. Dahi mengerut, berkeringat, dan sedetik kemudian tersenyum. Gemuruh hebat kemudian menyentak diriku, begitu kencang. Seperti ada gempa kencang, lalu aku juga tersengat listrik, dan ada ombak besar nan tinggi di depanku. Hampir pingsan, sudah gemetar dan ikut berkeringat. Peringatan tanda bahaya itu bertambah parah begitu kakinya yang panjang dan kurus bergerak ke arahku. Ough, Yaya, jangan jadi bodoh dan memalukan di depannya.

"Hey, jangan takut. Nggak akan ada apa-apa, nggak akan aku culik kamu juga." Gingsul, tawanya juga terdengar renyah. Kenyataan bahwa dia ramah menumbuhkan halusinasiku lagi bahwa kemungkinan besar dia tidak pernah memandang perempuan dari segi fisiknya saja.

"Kenalin, Raka. Orang baru di kompleks, sepertinya kita tetangga dekat."

Otakku bekerja cepat. Pak Wibowo tetangga yang dulu memang sudah pindah beberapa minggu lalu, kemudian ibu bilang mau ambil pesanan kue untuk tetangga barunya. Jangan-jangan maksud ibu adalah Raka dan keluarganya?

"Kamu ... nggak ada phobia ketemu orang baru, kan?"

Sontak aku menatapnya bingung, dan Raka tertawa lagi beberapa detik kemudian.

"Maaf maaf, wajahmu kelihatan kaku," ujarnya sambil menyentuh rambut.

Sontak saja aku menyentuh wajah sendiri, kaget. Jadi sejak tadi ekspresi seperti apa yang sudah aku tampilkan di depannya?

"Kamu ...." Raka mengusap rambutan ke belakang, lau meringis kecil. Dia canggung, aku tahu karena sering melakukan itu, tapi kenapa?

"Oh, oke. Kamu tadi mau ke mana, lanjutkan saja," ujarnya kemudian, masih dengan Gerakan canggung yang sangat kentara.

Aku mengedip beberapa kali, seolah tersadar dari gencatan senjata. Perlahan gemuruh itu mereda, berganti dengan perintah 'segera lari, Ya!' dan benar saja, aku segera melangkah lebar meninggalkan Raka tanpa sepatah kata pun. Iya, yang Raka tanyakan memang tidak benar tentang aku punya phobia pada orang baru, tetapi aku punya phobia pada cowok-cowok ganteng yang ramah. Aku selalu tidak bisa bergerak banyak di depan spesies seperti mereka.

Aku punya masalah sendiri dalam sosialisasi. Aku gugup saat di hadapkan pada banyak orang. Gugup saat harus bicara dengan laki-laki. Bukan aku enggak pernah punya laki-laki istimewa. Kakak dan ayah adalah laki-laki istimewa. Akan tetapi bertemu dengan selain kakak dan ayah aku masih belum bisa mengendalikan diri. Seperti saat bertemu Raka tadi, mendadak otakku blank. Itu juga yang membuat ibu akhirnya memutuskan aku menempuh pendidikan di sekolah khusus perempuan.

***


Surakarta, 21 September 2019

REMEMBER SUNDAYWhere stories live. Discover now