Bab 3: Surat-Surat dari Langit

4 2 0
                                    

Enggak perlu dibahas perihal sarapan bersama Raka minggu kemarin. Satu kata yang cocok, memalukan. Aih, sudah pasti kalian menebak sebelum aku bilang, kan? Kapan seorang Yaya bisa tampil menyenangkan tanpa meninggalkan kesan memalukan ketika berhadapan dengan laki-laki, terlebih orangnya adalah Raka sebagai wujud nyata cowok-cowok wattpad. Ugh .... Entah berapa jam lamanya pikiran itu terus melayang. Raka, Raka dan, Raka!

Semalam pun, faktor utama mata menolak terpejam cepat juga Raka. Padahal seharusnya hari senin jadwal berangkat pagi, rutinitas upacara sudah menunggu. Namun lagi-lagi Raka mengacaukan segalanya. Sudah berapa banyak Raka tertawa dalam dua kali pertemuan? Suda berapa kali ramah-tamahnya seorang Raka membayang begitu manis dalam otak.

Aku menunggu di depan teras usai sarapan. Senin selalu menjadi hari yang menyenangkan, seharusnya begitu. Jika saja enggak ada mata panda dan kepala pusing akibat kurang tidur. Ayah akan mengantar ke sekolah pagi ini, jadwal rutin setiap senin. Yep, hari-hari berikutnya enggak selalu bisa karena ayah harus bekerja ke luar kota. Jika pun di rumah, aku cukup mengerti untuk membiarkan ayah istirahat.

Mobil ayah sudah berpindah ke depan pintu gerbang saat tukang ojek online berhenti tepat di depan rumah. Aku terdiam melihat ayah turun dari mobil dan menerima sesuatu dari orang tersebut. Berkerut, lalu tatapannta berpindah padaku dengan heran.

"Ada kiriman, Ya, buat kamu," kata ayah setelah tukang ojek itu pergi dan aku menghampirinya. Mataku menyipit menerima amplop putih yang masih terbungkus rapat.

'Untuk Afiya' tulisnya kecil di pojok kiri bawah.

Melihatku yang mengamati aplop itu dengan saksama, ayah ikut melongok, penasaran. Namun aku segera memasukkanya ke dalam tas, lalu tersenyum kecil pada ayah. Well, apa yang sedang dipikirkan oleh seorang ayah melihat anaknya mendapat surat di senin pagi?

"Ayah mau baca," cetus ayah pelan, tetapi langkahnya memasuki mobil. Lelaki setengah baya itu tak ingin membuat putrinya terpojok, tetapi wajah penasaran juga enggak dapat disembunyikan. Begitu aku sudah duduk di samping kemudi, mata ayah beberapa kali melirik penasaran.

Aku juga penasaran, menebak-nebak siapa ang mau mengirimi orang seperti ini surat. Aih, di zaman sekarang masih menggunakan surat di saat tekhnologi bernama ponsel sudah begitu familiar. Merogoh isi tas, lalu engambil suratnya dan mengetuk beberapa kali. Lirikan ayah enggak dapat terelakan, jelas dia penasaran tetapi enggak mau dibilang kepo.

"Ayah mau baca?" tanyaku akhirnya memecah keheningan. Lampu merah, mobil ayah berhenti tepat di depan truk besar. Motor mulai menyelip ke depan untuk berebut tempat.

"Itu kan punya kamu, ayah cuma penasaran siapa pengirimnya."

Sekali lagi menimang. Pengirim, aku juga penasaran. Sangat!

"Aku enggak lagi dekat sama siapa pun kok, Yah," kataku yang justru menimbulkan kerutan di dahi ayah.

"Ayah enggak ngelarang kok, enggak akan marah juga asal kamu tau Batasan."

"He um?" gumamku pelan. Benar juga, aku enggak perlu khawatir ayah marah. Bisa jadi, kalau berdasar pengamatanku selama ini, sebenarnya ayah justru mengharapkan aku bisa dekat dengan beberapa orang.

"Kalau orang ini berniat buruk?" tanyaku, berusaha memancing respon ayah.

Ayah mengangkat alisnya sambil mulai menjalankan mobil. Suara klakson mulai terdengar berebut, saling menyahut seolah ialah yang paling telat.

"Belum baca isinya kok sudah mikir buruk?" tanya ayah beberapa detik kemudian.

Aku menghela napas lega, benar juga. Akan tetapi enggak ada yang bisa memastikan seratus persen kalau isi surat ini baik. Bisa jadi, ini surat kematian? Atau ancaman? Aih, aku bukan penggemar film semacam itu, tetapi jelas siapa pun pasti pernah melihat atau setidaknya mendengar.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 11, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

REMEMBER SUNDAYWhere stories live. Discover now