Bab 2: Minggu Pagi yang Kedua

7 1 0
                                    


Entah seberapa lama aku memikirkan kalimat Raka kemarin. Yang pasti, tiba-tiba begitu mataku terbuka waktu sudah menunjukkan hampir pukul enam pagi. Tentu saja hal pertama yang dilakukan adalah meloncat turun dari ranjang, dan kejadian seperti yang sering terjadi di kisah-kisah novel itu benar-benar terbukti. Tersungkur. Ah, untung hanya lecet sedikit, enggak sampai menyebabkan masalah pada gerakan jalan.

Waktu sudah menunjukkan hampir pukul tujuh saat ibu selesai berkicau di pagi hari. Aku juga sudah siap dengan kaos panjang, jaket, juga celana panjang. Siap-siap pergi keluar rumah, tanpa tujuan sebenarnya. Bukan. Bukan karena Raka aku akan pergi pagi ini. Akan tetapi ini sudah menjadi rencana sejak berhari-hari lalu.

"Kamu enggak pernah coba keluar rumah? Ke mini market? Beli es atau makanan?"

Itu pertanyaan Laya, barangkali dia satu-satunya orang yang masih peduli padaku di sekolah—terkadang.

"Buat apa? makanan ada di rumah? Ibu juga buat es sendiri, nggak boleh sering-sering minum,"balasku kala itu dengan kening mengernyit. Laya jelas mendesah berat, kesal dengan pikiranku yang menurutnya enggak kreatif sama sekali.

"Yaya ...," geram Laya sambil menatapku penuh pertimbangan. Aku tebak di kepalanya sedang muncul berbagai jenis argumen yang bisa saja mematahkan argumenku tadi dalam sekali tohok. Namun dia adalah tipe orang yang benar-benar memikirkan segala perkataannya. Dan aku berani bertaruh bahwa kali itu dia juga sedang menyiapkan kalimat yang tepat untuk membalasku.

"Memang, kalau mengikuti cara berpikirmu enggak ada gunanya sama sekali, tapi kamu pernah mikir kalau kamu mau melakukan itu bakalan dapat apa? Banyak, Ya! Ugh ... geregetan sama kamu!"

Sayangnya, Laya juga sudah terlalu sering menghadapi pikiranku yang monoton ini. Kesabarannya terkadang lepas hingga kalimatnya enggak terkontrol. Aku maklum, lagi pula Laya satu-satunya orang di kelas yang kadang masih mau ngobrol sama anak enggak kreatif ini.

"Coba, Ya, kamu berani nerima tantanganku ini atau enggak? Hari minggu besok pasti ramai kan di taman kompleks kamu? Atau di tempat mana pun yang berpotensi membuat kamu ketemu banyak orang deh, terserah mau taman, mall, pasar, atau paling enggak mini market. Kalau kamu masih enggak menemukan faedahnya, aku bakal bareng kamu satu minggu penuh selama di sekolah. Gimana?"

Untuk ukuran aku yang enggak pernah bareng dengan orang lebih dari dua jam, tawaran itu sedikit banyak memengaruhi. Gimana rasanya punya teman di sekolah? Istirahat bareng, ke kantin bareng, ke perpustakaan bareng? Aku memang penasaran, enggak bisa dibohongi.

"Tapi kalau kamu dapat manfaatnya kamu yang harus dapat konsekuensinya. Setiap minggu pergi ke tempat ramai, atau ke mana pun asal bukan di rumah."

Ini yang buat aku akhirnya mengurungkan niat. Beberapa menit aku berpikir keras seolah keputusan ini bisa membuat masa depan terancam jika salah sedikit saja dalam menentukan pilihan. Sementara Laya enggak berhenti mengetuk meja dan menatapku lekat. Dia paling antusias di sini. Pertanyaan lain muncul di kepalaku, hey, kenapa justru dia yang sangat ingin aku keluar rumah?

"Lay," gumamku pelan, enggan memanggilnya dengan Ya karena merasa nantinya akan memanggil diriku sendiri.

"Gimana? Setuju kan?" tanyanya dengan segenggam tangan yang menekan bolpoin erat-erat.

Keningku berkerut, memutar bola mata. Tepatnya aku sedang mencari kalimat yang tepat untuk bertanya.

"Kenapa kamu mau aku begitu?"

Sedetik kemudian, Laya seolah menyadari sesuatu. Dia menghempaskan tubuhnya ke belakang, menyandar pada kursi. Wajahnya tampak seperti baru saja dihantam kenyataan kejam. Aku enggak tahu bagian mana yang sudah membuatnya mengeluarkan ekspresi seperti itu. Namun tetap saja rasa bersalah itu muncul.

REMEMBER SUNDAYWhere stories live. Discover now