Bab 1: Laki-Laki 10 Tahun Lalu

10 1 0
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak

.

.

.



"Afiya, Afiya!"

Cowok yang ukuran badannya lebih besar sedikit dariku itu berlari, tangannya membawa dua buah permen susu. Aku tersenyum lebar begitu dia sudah tiba di hadapanku, menyerahkan satu permen rasa vanilla sambil berkata,

"Buat kamu, ayahku belikan."

"Makasih Adit," balasku tersenyum lebar menerima permen pemberiannya. Adit menarik lagi permen itu, lalu sibuk melepas bungkusnya. Butuh beberapa menit sampai bungkus plastik itu bisa terlepas sempurna dari permen.

"Ini, makan ya," ujarnya menyerahkan lagi. Aku semakin lebar tersenyum dibuatnya, lalu memasukkan permen itu ke mulut dengan senang. Adit juga melakukan hal yang sama dengan permennya sendiri. Dia lalu duduk tepat di sampingku, di teras rumah.

Kejadian itu saat aku berumur tujuh tahun. Mempunyai satu-satunya teman cowok bernama Adit yang tinggal di depan rumah. Sudah kubilang bahwa aku punya masalah tersendiri dengan sosialisasi. Sejak kecil, aku anak paling jarang main ke taman. Bahkan setiap mengunjungi tempat yang dekat dengan anak dan permainan itu aku selalu duduk disamping ayah, ibu, atau terkadang kakak. Aku jarang sekali keluar rumah sampai umurku sudah mendekati sweet seventeen.

Namun berbeda saat aku sudah mengenal Adit. Berawal saat aku baru pulang dari rumah teman ibu, turun dari mobil. Di sana aku menemukan Adit yang saat itu baru saja pindah. Dia menatapku lama, lalu melambaikan tangan sambil menampilkan giginya yang rapi. Saat itu aku sama sekali tidak membalasnya. Segera masuk mengikuti ibu.

Kemudian keesokan harinya Adit sudah muncul di depan rumahku bersama ibunya. Mengantarkan kue sebagai tanda keakraban.

"Aku Adit," katanya ketika itu tanpa diperintahkan oleh ibunya. Aku masih diam di balik tubuh ibu, memgangi roknya sambil hanya berani mengintip.

"Afiya, kenalan sama Adit," ujar Ibu sambil sedikit mendorongku maju.

Aku yang gugup hanya mampu menerima uluran tangannya. Kejadian itu tidak lama karena hanya Adit yang banyak bicara sedangkan aku tidak pernah meresponnya. Lalu keesokan harinya Adit selalu main ke rumahku, terkadang dia membawakan kue buatan ibunya, permen, atau hanya datang saja. Lama-lama aku terbiasa mendapati coletoh riang Adit. Dia berperan seolah sebagai candu. Pernah satu hari Adit tidak datang karena katanya berkunjung ke neneknya. Saat itu aku menunggu di teras, sampai hari gelap. Namun Adit enggak muncul. Lalu saat dia datang di hari berikutnya lagi membawakan permen kapas dan jepit berbentuk pita.

Sejak dulu, pusaran hidupku hanya ada pada ibu, ayah, kakak, dan Adit. Aku tidak punya teman dekat lain. Di sekolah menjadi anak paling pendiam, sering kali memohon pada ibu agar dibuatkan surat izin untuk tidak sekolah.

Saat itu aku juga memohon pada ibu agar dipindahkan ke sekolah yang sama dengan Adit. Aku pikir dengan Bersama Adit bisa punya teman di sekolah. Namun ternyata tetap tidak punya. Kami beda kelas karena Adit sudah masuk kelas dua sedangkan aku masih kelas satu. Walaupun begitu Adit tetap sebisa mungkin bersama denganku saat jam istirahat.

Hampir satu tahun aku bersama Adit. Dia main aku ikut, kami berangkat sekolah bersama dan pulang bersama. Tidak jarang dia mengajak ke taman, bersama ibunya. Dalam rentang waktu itu adalah hidup yang menyenangkan. Mempunyai teman bermain, frekuensi tersenumku juga meningkat. Sayangnya, Tuhan tidak mengizinkan aku bersama Adit lebih lama lagi. Dia pindah ke padang, lalu lama-kelamaan hilang kabar.

REMEMBER SUNDAYWhere stories live. Discover now