Teddy mendorong pintu kayu di hadapannya. Tas ransel berbahan kulit yang selama beberapa tahun ini menemani punggungnya ia letakkan dengan sangat hati-hati di atas sofa. Ponselnya mendendangkan sebuah lagu yang baru didengarnya tadi pagi saat playlist suffle spotify-nya memutar lagu itu.
Tadi pagi saat ia berangkat untuk bekerja, seperti biasanya ia akan menempelkan headset di telinganya untuk membuang bosan selama perjalanan menggunakan busway. Tempat pria itu bekerja cukup jauh dan harus berpindah busway sebanyak dua kali.
Awalnya ia akan mengganti lagu yang baru dinyanyikan pada bagian awal. Seorang wanita tua yang masuk membuat perhatiannya teralih. Teddy berdiri dari tempat duduknya lalu membimbing wanita itu untuk duduk menggantikannya. Saat akan membuka aplikasi pemutar musik berwarna hijau itu, alunan suara yang lembut itu tiba pada bagian refrain.
Teddy termenung. Bagaimana lirik itu membuatnya berjuang untuk tidak menjatuhkan air mata. Ia dengarkan lagi lagu itu berulang. Merenungi setiap lirik yang begitu mewakili perasaanya. Hidupnya yang satu tahun terakhir ini menjadi kacau karena tujuan hidupnya seakan hilang.Satu tahun yang lalu ia masih dengan kebiasaannya di akhir atau di awal bulan. Membawa wanita kesayangannya ke restoran manapun yang belum pernah mereka datangi untuk makan malam. Atau pergi berdua untuk menghabiskan waktu di pinggir pantai saat libur panjang tiba. Pulau-pulau mereka datangi untuk membuang suntuknya hidup di ibu kota.
Kini seakan tak ada lagi alasan baginya untuk menunggu akhir bulan selain saldo tabungannya yang bertambah. Ia tidak bisa memikirkan akan menggunakan jumlah yang semakin banyak itu selain untuk kebutuhan sehari-harinya dan pengeluaran tambahan saat ia berkumpul bersama teman-temannya atau saat sepatu dan pakaiannya butuh diperbaharui. Selain itu, satu tahun ini angka-angka itu bertambah seakan tak berguna, apalagi saat jabatannya naik sepuluh bulan yang lalu. Nominal yang masuk ke rekeningnya hampir tiga kali lipat.Teddy menghampiri speaker di sisi lain ruangan, menyalakannya kemudian menyambungkan bluetooth dari ponselnya yang tengah memainkan lagu yang sama. Ruangan yang tidak terlalu luas itu menjadi lebih mencekam. Kerinduan yang mendalam menusuk jiwa, membekukan dinding. Pilu.
“Selamat, Sayang…”
Air mata membendung di pelupuk. Ia mengedipkan mata dua kali dengan cepat. Ia akan menangis. Tak ada yang bisa menahannya. Hanya ia dan rumah sepi dengan sejuta kenangan itu. Tatapannya terpaku pada sejumlah foto yang tergantung rapi di dinding. Ketika satu lagu itu berakhir, ia memutar lagi dari awal. Pengaturan yang hanya memainkan satu lagu, sedari pagi belum diubahnya.
Bingkai-bingkai yang dominan dengan hitam putih itu masih sama seperti satu tahun yang lalu. Ted tidak ingin mengubahnya. Bahkan saat ia akan berberes setiap sebulan sekali, ia hanya membersihkan dan tak akan memindahkan satu benda pun. Ia tahu, apa yang sudah diletakkan wanita kesayangannya itu adalah yang terbaik. Ia tidak ingin mengubahnya. Pernah ia mencoba memindahkan salah satu meja, dan perasaannya seketika ruangan itu menjadi asing. Sentuhan wanita itu dalam menata ruangan memang yang terbaik.“Hari ini tanggal 28. Kita harus mencicipi lobster-nya SKYE.”
Teddy bergumam. Tangisnya benar-benar pecah.Hari dimana wanita itu pergi, mereka akan pergi menuju restoran yang berada di puncak gedung biru itu. Wanita yang cantik luar biasa dengan terusan sampai ke ujung kaki dengan tumit sepatu dua centimeter duduk di sampingnya dengan senyum bahagia. Walaupun sebelumnya harus berdebat kecil dulu karna Teddy menghabiskan hapir seperempat penghasilan bulanannya untuk reservasi dengan beberapa menu.
Lobster yang mereka pesan baru saja diletakkan di tengah meja. Pisau dan garpu ia usapkan dengan tissue yang membungkus. Wanita itu akan mengangkat sendok garpunya saat sebuah tembakan terdengar. Sendok itu terlempar ke udara. Wanita itu berteriak kaget. Suara tembakan terdengar lagi. Kerumunan mulai terbentuk, menjerit dan berlarian. Pemandangan kacau dimana-mana. Ted meraih wanita itu untuk beranjak.