Revenge

1.3K 128 10
                                    

Hujan menyambut di pagi hari. Tara membuka mata dengan malas. Senyum mengembang di bibirnya kala mengingat Ted akhirnya kalah tadi malam. Jemari gadis itu naik menyentuh bibirnya kemudian tersenyum lagi. Kakinya menghentak-hentak bahagia hingga bed cover di ujung kakinya bergulung berantakan.
Terlalu senang, ia melompat ke lantai kemudian berlari ke dapur untuk menemui Ted. Ted sedang memegang pan dan spatula di dapur.

“Selamat pagi, Ted!!!”

Tara berlari. Tangannya langsung melingkar di perut pria pujaannya itu.

Ted terdiam sebentar sebelum membanting spatula. Pria itu berbalik menghadap Tara, mendorong gadis itu menjauh lalu menghujam dengan tatapan tidak suka.

“Ada masalah dengan otakmu? Sopan santunmu benar-benar hilang.” Ujar Ted ketus. Spatula ia ambil kembali untuk memindahkan nasi goreng ke piring.

“Ted, kau kenapa?” Tara berbisik pelan. Seingatnya tadi malam mereka sudah baik-baik saja. “kukira tadi malam kau sudah menerimaku.”

Ted meletakkan dua piring di atas meja.

“Menerima?” Ted mengerutkan kening. Tara terdiam di tempatnya menatap Ted yang kini sudah duduk sambil menikmati sarapannya.

“Tadi malam kau menciumku!”

Ted terbatuk hingga beberapa butir nasi keluar dari mulutnya. Matanya memerah serta berair oleh karna tersedak.

“Coba ingat lagi dengan lebih jelas. Aku menciummu atau kau yang memaksa dengan igauan tidak jelasmu?” Ted tersenyum mengejek. Tangannya menepuk-nepuk di dada setelah menelan beberapa teguk air putih.

Tara bergeming, meneguk ludah dengan susah payah seraya menggiring ingatannya pada kejadian tadi malam. Ia semakin ragu saat semakin mencoba mengingat.

“Cepat sarapan dan segera bersiap-siap. Aku akan membawamu ke suatu tempat supaya kau sadar dengan siapa kau berhadapan saat ini.”

Ted meninggalkan Tara yang semakin bingung. Firasat gadis itu seakan membuatnya enggan untuk melakukan apa yang Ted perintahkan, namun pada akhirnya ia tetap melakukannya.



Satu jam kemudian Ted dan Tara sudah dalam perjalanan entah kemana yang dimaksudkan Ted. Hujan masih turun ketika mereka berangkat dan sekarang tersisa gerimis. Tara mengamati jalan sepi di antara pepohonan yang mereka lewati. Saat di ujung matanya ia melihat gerbang besar dan beberapa orang tegap bersenjata.

Pemeriksaan dilakukan saat mereka berhenti dan dihalau oleh dua pria bersenjata. Ted menunjukkan tanda pengenalnya. Beberapa anjing pelacak berkeliling. Pria-pria berseragam itu menyelesaikan tugasnya dengan memberi jalan pada mobil yang Ted kemudikan.

“Kita dimana, Ted? Kenapa kau mengajakku ke sini?”

Ted tidak menyahut. Langkah kakinya dengan pasti mengikuti arahan penjaga yang sudah mengawal mereka sejak memasuki bangunan dengan tembok-tembok yang terlihat tua dan lusuh. Sepertinya petugas disana beberapa sudah mengenal pria itu.

Ted dipersilahkan masuk. Saat akan mendorong pintu, ia melirik ke belakang punggungnya. Tara berhenti di ambang pintu, seakan enggan untuk masuk.

Sebuah pintu terbuka lagi. Tara membeku di tempatnya. Dua orang laki-laki yang baru saja masuk disana membuat kakinya melemas saat dilihatnya pria kurus yang berdiri di antara keduanya. Pria itu berdiri di sana. Pria yang Tara anggap sudah pergi meninggalkannya hingga ia berakhir dengan Ted sebagai paman pengasuhnya—pria yang tiba-tiba datang saat pria yang kini berdiri di hadapannya menghilang entah kemana.

“Ayah …”

Pria itu menatap bingung orang-orang di hadapannya. Ia memang mengenal Ted karna sejak ia ditahan di sana, Ted selalu datang kesana dan tidak pernah hilang kemarahan pria itu padanya. Yang dilakukan Ted tiap mengunjunginya selalu mengungkit dosanya.

“Kau lihat putri kecilmu itu sekarang? Ia tumbuh dengan baik bukan?”

Pria ringkih itu melotot. Pandangannya jatuh pada Tara yang masih mematung di pintu. Gadis yang tidak mengerti dengan apa yang sedang Ted lakukan.

“Kau tidak penasaran dengan putri kecilmu ini?”


Pertemuan singkat itu menjadi tembok pembatas yang akhirnya terbangun di antara Ted dan Tara. Tara pada awalnya tidak bisa menahan amarahnya pada Ted karena telah menyembunyikan keberadaan ayahnya. Saat ini ia mengerti kenapa ayahnya tiba-tiba hilang dan orang asing yang datang menemuinya kemudian membawanya saat ia masih anak kecil yang tidak mengerti apa-apa.

“Jadi, selama ini kau tau keberadaan ayahku?” Tara menuduh. Kemarahannya membuat darahnya panas. Ia ingin berteriak, memaki, memukul, apapun yang bisa melampiaskan perasaannya.

“Sebaiknya kau telan kemarahanmu karna kau nggak punya hak untuk marah, Tara.”

Tara benci. Tara membenci bagaimana Ted menanggapinya.

“Aku berhak marah!”

Ted menepikan mobilnya. Sebelum mobil berhenti dengan sempurna ia sudah menghadap pada Tara dan dengan kasar menarik kasar lengan gadis itu agar menghadapnya.

“Dengar, Tara. Kau harus ingat semua yang aku katakan setelah ini.” Ted menatap kedua manik gadis di hadapannya itu. Gambaran kebencian dan kemarahan, saat tragedi di malam itu terulang dalam benaknya.

“Ayahmu sudah membunuh ibuku. Makam yang selalu aku kunjungi. Ayahmu adalah penyebab kepergiannya. Selama ini aku tidak mengijinkanmu untuk ikut tiap kali aku mengunjungi makam ibuku adalah karna kau tidak pantas, Tara. Kau adalah kesalahan. Dosa yang harus aku tanggung. Karna kau adalah anak dari yang membunuh beliau.”

Sweet MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang