5 | kecoak nemplok di paha

353K 27.3K 328
                                    




5 | kecoak nemplok di paha



KANTOR hari Senin identik dengan serba baru. Biasanya Ucup kalau nggak cukur rambut ya cukur kumisnya yang memang selalu rapi itu. Jun dan Karen dengan baju baru. Timothy kutek baru, atau bulu mata baru. Kalau sisanya cukup semangat baru saja.

Penghasilan Sabrina memang tergolong pas-pasan untuk menutup tagihan-tagihannya saat ini. Pasalnya rumahnya masih nyicil. Itu pun patungan dengan Ibel, sang kakak, biar nggak terasa berat-berat amat. Dan dihitung utang pula. Nanti kalau Sabrina sudah tajir, harus dibalikin semua duitnya yang terpakai.

"Mau dibeliin sarapan kayak biasanya, Mbak?" tanya Ucup sambil ngepel lantai lobby ketika Sabrina tiba.

Nah kan, potongan rambutnya baru. Makin cepak. Makin rapi. Makin ganteng.

Kantor masih sepi. Anak-anak emang pada nggak mau rugi, sih. Jam kantornya jam delapan, ya jam delapan teng mereka baru muncul. Sabrina datang kecepetan hanya karena kebetulan tadi jalanan tidak macet.

"Belum ada yang dateng?" tanya Sabrina sambil mengoleskan lip balm ke bibirnya. Dia lagi sariawan dan jadi malas pakai lipstik, apalagi make up. Hubungannya? Mood. Secara, kalau mulut sariawan, mood auto jelek. Mau ngapa-ngapain juga males. Toh bisa dibilang mereka ini pekerja setengah kasar. Di depan PC iya, ngangkut-angkut barang berat iya. Selain untuk Timothy, make up memang nggak wajib. Bahkan kalau mau ngantor pakai jeans sama tanktop dan sandal jepit juga monggo, asal nggak ada jadwal ketemu klien, dan nggak turun ke lobby.

"Mas Zane tadi udah dateng, terus keluar lagi. Mbak Iis udah di atas. Mas Akmal ngobrol di pos sekuriti."

Sabrina manggut-manggut. "Beliin gue kopi aja, deh. Tapi nanti, nunggu kopi sebelah buka. Sekalian nunggu anak-anak, biar lo nggak bolak-balik."

"Ashiaaap."

Sabrina tidak langsung naik. Mejanya sebenarnya ada di lantai tiga. Tapi dia sedang tidak ingin berduaan saja dengan Mbak Iis pagi-pagi begini. Bisa bikin mood ambyar.

Bukan gimana-gimana, sih. Sebenarnya dia cukup akrab dengan Mbak Iis yang memang kubikelnya berada tepat di sebelahnya. Tapi akhir-akhir ini seniornya itu sedang giat-giatnya curhat tiap pagi. Curhat biasa sih masih mending, ya. Ini ngeluh. Keluhan yang sama tiap hari. Dan Sabrina bukannya sejahat itu, nggak mau dengerin apalagi bantuin temen. Tapi ini masalahnya, yang ngeluh itu emang tipikal orang yang nggak mau ditolong. Percuma juga didengerin. Dikasih saran apalagi.

Kemudian Sabrina mendengar suara langkah dari lantai atas, menuruni tangga. Serta merta dia kabur ke pantry yang memang berada tidak jauh dari lobby, dan langsung menutup pintunya, sambil mengatur napas. Deg-degannya berasa abis kabur dari zombie.

Ah, mestinya dia menunggu di parkiran saja tadi. Ke pantry doang mah Mbak Iis masih bisa nyusul.

"Kenapa ditutup segala?"

Nah lho.

Sabrina menoleh.

Zane kok bisa ada di sini? Somplak emang si Ucup.

Sabrina mengernyitkan dahi. Bingung mau beralasan apa. Sebenarnya juga nggak masalah-masalah amat sih, kalau ketahuan Mbak Iis. Cuma kalau bisa, mending di antara mereka berdua cukup ada pembicaraan seputar kerjaan aja. Jangan masalah pribadi dibawa-bawa. Bisa jadi bad vibes gitu. Bawaannya jadi makin males kerja kalau udah kena aura negatif begitu.

"Ada kecoak diluar. Lagi diusir sama Ucup," terang Sabrina, pakai bohong.

Zane cuma mendengus pelan, sementara pandangan Sabrina langsung beralih ke coffee maker yang sedang menyala di counter depan Zane. Dia sebenarnya nggak jago bikin kopi. Kopi buatan Ucup juga nggak enak-enak amat, makanya dia dan yang lain lebih demen beli kopi di sebelah.

"Mau gue bikinin, Bang?" tanya Sabrina basa-basi.

Zane menggeleng. "Nggak usah. Santai, masih pagi."

Kemudian Zane bergerak ke pintu. Sabrina segera menahannya, membuat kedua tangan mereka bertumpukan di knop pintu.

Suara Mbak Iis dan Ucup sudah terdengar dari lobby. Jelas aja Sabrinaa panik tadi.

"Kopinya mau ditinggal gitu aja?" tanyanya spontan.

"Emang harus ditungguin?" Zane balik nanya.

"Please bisa di sini dulu, nggak? Sampai jam delapan teng." Sabrina melirik sekilas jarum arloji di pergelangan tangan Zane. "Sepuluh menit lagi."

"Kenapa?"

"Ngobrol dulu, Bang. Ada yang mau gue tanyain." Sabrina berpikir keras. "Tentang hasil meeting sama Mbak Verial kemarin."

"Ya kali ngobrol di pantry?" Zane masih curiga.

Sabrina pasang tampang memelas.

"Ya udah sih. Tapi tangan gue nggak usah dipegangin terus juga, kali. Tangan lo keringetan. Jijik banget."

Astaga. Keringetan juga enggak.

Tapi Sabrina tidak membantah, segera menarik salah satu stool agar Zane segera duduk.

"Jadi yang udah fix apa aja, Bang?" tanyanya cepat-cepat.

"Lamaran, ijab-qabul, sampe resepsi kita semua yang urus." Zane menjawab santai. "Mereka cuma ngasih daftar undangan. Tanggal-tanggal sama budgetting udah gue pegang juga."

Sabrina coba menanggapinya dengan serius, seolah dia memang benar-benar bermaksud menanyakannya.

Tapi tiba-tiba pintu di hadapan mereka menjeblak terbuka.

Iis berdiri di ambangnya.

Sabrina refleks menyentuh paha Zane di bawah meja, kode agar lelaki itu kooperatif.

"Ngapain pada di sini? Nggak langsung naik aja?" Iis bertanya heran, sekaligus semringah karena tahu bukan hanya dia yang sudah tiba di kantor.

"Sab minta bocoran acaranya Mbak Ver." Zane yang menyahut. "Biar nggak shock terapy kalau denger konsepnya pas meeting ntar. Kan dia yang pegang acaranya."

Sab kontan melotot. Sebelumnya di antara mereka tidak ada pembicaraan apa-apa mengenai plotting person untuk acara itu karena pojectnya memang baru masuk. Dan sebenarnya saat ini juga Sabrina masih memegang project lain, meski bukan project besar.

Dan yang lain memang tidak ada yang sedang menganggur juga.

Zane benar. Sabrina yang paling enteng tanggungannya saat ini.

Zane menyingkirkan telapak tangan Sabrina dari pahanya, kemudian bangkit berdiri.

"Kecoaknya udah pergi?" tanyanya ke Iis.

"Kecoak?" Iis nampak bingung.

"Tadi si Ucup lagi ngusir kecoak."

"Oh ... udah kali."



... to be continued


Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن