80 | jablay kelas kakap

163K 19.8K 1.2K
                                    




80 | jablay kelas kakap



SELESAI acara, Sabrina duduk selonjoran di panggung. Capek luar dalam.

Anehnya saking capeknya, moodnya untuk menangis dan meratapi nasib lenyap begitu saja.

"Kenapa, Sab?" Juned duduk di sebelahnya.

Sabrina menoleh. "Ada yang bawa counterpain nggak? Kaki gue kayaknya udah nggak bisa dipakek jalan lagi, deh."

Juned kontan menoyor kepalanya. "Lebay!"

"Sumpil, ini lebih capek dibanding nikahannya Edgar. Dengkul gue ampe mati rasa."

"Ah, itu kan karena kali ini elo yang jadi PJ-nya. Coba kalo PJ-nya gue, pasti elo sama yang lain udah enak-enakan bangun kesiangan. Santuuuy, mentang-mentang gue multitasking!" Juned mendengus keras. "Sungkem nggak lo ama gue sekarang?! Tiga hari gue cuma tidur empat jam gara-gara project lo!"

Sabrina meringis.

Akmal berjalan mendekat dan melempar tube counterpain padanya.

"Lo suruh sungkem, yang ada gue nanti ngesot ke parkiran, saking udah nggak bisa dipake lagi kaki gue." Sabrina lebay, membuat Akmal ikut menoyor mukanya.

"Bilang aja lo mau modus, biar digendong Abang Bos. Taik!"

Sabrina mencoba bersabar. Ngenes sekaligus bersyukur.

Teman-temannya jarang membawa aura negatif. Yah meski mulut mereka kayak nggak pernah disekolahin, mereka jarang mengeluh dan membesar-besarkan masalah. Kalau ketahuan lagi sedih dan apes, ketemu mereka tetap akan dibully juga, membuatnya batal mengeluh atau bersusah hati. Terlanjur beda moodnya.

"Ah, Sabrina mah kaki dipakek alesan aja pasti." Karen dan Timothy berjalan mendekat, ikut duduk di pinggir panggung. "Dia pasti lagi insecure aja. Tadi gue lihat dia dikenalin ke camer. Pas banget dandanannya kayak babu gini. Pasti dia galau, gimana kalo sampe nggak direstui."

Sabrina mendengus.

Jelas dia takut nggak direstui, tapi dengan alasan lain.

Tapi gampang lah, dipikir nanti, setelah mandi keramas. Sudah tiga hari dia tidak keramas. Dan terakhir mandi tadi pagi. Sekarang badannya lengket seperti ikan.

"Kita evaluasi besok aja ya, di kantor." Sabrina berujar.

"Iya lah, udah malem banget."

"Elo jangan kayak Mbak Iis dong, meres tenaga kita dengan tidak manusiawi. Bonus sih bonus, tapi kita bisa mati sebelum dapet bonus kalo diforsir terus." Akmal sok imut.

Sabrina manggut-manggut saja, kemudian berusaha berdiri.

Akmal membantu menarik tangannya karena kasihan.

"Mau dianter? Apa Bang Zane masih nungguin?" tanyanya.

"Hmm. Doi nunggu di lobby."

"Wokee."

Sabrina memakai tasnya di bahu, kemudian memandang keempat temannya.

"Makasih semuanya. Kerja kalian keren banget hari ini. Gue nggak bisa apa-apa kalau nggak ada kalian."

"Hmm, peres." Karen mencibir.

Sabrina cuma ngakak, kemudian berlalu.


~


Di mobil, dia pilih tidur karena memang matanya terasa berat.

Dua hari berada di bawah sorot lampu dengan sound system bervolume lumayan, membuat kesehatan mata dan kupingnya agak mengkhawatirkan.

Zane tidak mengganggunya sama sekali, membiarkannya lelap. Bahkan lelaki itu tidak membangunkannya ketika mereka sampai.

Sabrina sadar saat Zane menggendongnya masuk ke lift privat.

Dia memang tidak selelap itu.

Dia hanya tidak sanggup membuka mata, meski seluruh inderanya masih sadar penuh.

Zane merebahkannya di kasur, melepas sepatunya.

Sabrina baru membuka sedikit matanya saat lelaki itu berlalu ke kamar mandi.

Matanya perih sekali saat dibuka.

Sedih.

Kesal.

Sumpah, prank semesta kali ini benar-benar nggak lucu.

Bisa-bisanya setelah membuatnya jadi sebucin ini pada bosnya sendiri, sekarang mereka berdua mau dipisahkan begitu saja? Jangan ngada-ada, deh! Please. Harus ada jalan keluar. Sampai mampus juga Sabrina nggak akan menyerah begitu saja.

Apa perlu dia carikan cowok lain yang lebih tajir, lebih muda, lebih cakep, untuk kakaknya?

Atau dia coba bujuk Mama Zane, yang sudah menganggap dirinya anak sendiri, biar mau rujuk dengan mantan suaminya?

Atau dia berpura-pura hamil duluan saja?

Eh, atau sekalian hamil beneran?

Cewek itu lalu langsung bangkit berdiri.

"Bang, tungguin! Gue ikut!"



... to be continued

Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now