Chapter: One

232K 12.5K 311
                                    

Untuk kamu, hatiku:

"Make up terbaik bukan yang bisa memikat lawan jenis, tetapi yang mampu membuat sesama perempuan iri."

***

Hidup segan, mati tak mau.

Begitulah kira-kira moto hidup Saras saat ini. Semakin bertambah usia, semakin pusing memikirkan keadaan. Bukan dirinya, melainkan kedua orang tuanya yang tak kunjung bosan bertanya soal jodoh. Seperti saat ini. Makan siang Saras diisi oleh ceramah yang pesannya sudah Saras hafal di luar kepala.

Keluarga Saras tidak memiliki tradisi "makan bersama" seperti yang lain. Tapi kali ini, sepertinya kedua orang tuanya memang sengaja menyamakan jadwal makan mereka dengan Saras agar memiliki waktu yang tepat berdiskusi panjang lebar dengan anak perempuannya itu.

"Emang beneran nggak ada yang lagi dekatin kamu, Sa?" tanya mama khawatir.

Saras menghela napas. Rasanya ia ingin membuka mulut lebar-lebar dan mengatakan jika tidak sedikit lelaki yang tertarik padanya. Baik secara diam-diam maupun to the point. Sayangnya, Saras tidak pernah menanggapi semua yang datang. Baginya, mereka semua hanya "main-main". Para lelaki itu hanya tertarik dengan paras Saras yang cantik dengan polesan make up. Mereka tidak benar-benar mendekati Saras untuk membawa perempuan itu ke tahap yang lebih serius dan sakral.

Sebagai Make Up Artist, Saras pastilah pandai merias diri. Memang tidak harus, tapi ia merasa perlu tampil on fleek setiap hari di luar rumah demi menarik dan meyakinkan klien tentang skill-nya. Namun, siapa sangka semua itu berdampak cukup buruk bagi percintaannya?

Saras pikir dirinya senang dipuji "cantik" oleh setiap kaum Adam yang berkenalan dengannya. Saras pikir penampilannya yang sempurna itu akan memudahkannya dalam mendapatkan pasangan hidup. Tapi tidak. Tidak sama sekali. Saras justru semakin tidak nyaman. Rasa insecure dalam dirinya semakin mendarah daging. Ia tidak ingin dicintai dengan semu, yang akan turut hilang ketika riasannya terhapus oleh micellar water.

"Coba kalau kamu selesaiin kuliahnya waktu itu. Terus kerja kantoran. Pasti kamu udah nikah," celetuk mama lagi yang sanggup membuat Saras berhenti mengunyah.

Saras mengerling. "Apa hubungannya?"

"Oh, jelas ada. Kalau kamu kerja di kantor, kan, pasti banyak kenalan. Mereka juga bukan orang sembarangan pasti, jelas bibit bebet bobotnya. Karena buat kerja begitu harus punya gelar sarjana, minimal diploma 3."

Saras mendengus. Beginilah pikiran orang tua. Masih saja menjadikan gelar sebagai tolak ukur kepribadian individu. Masih saja memandang pekerja kantoran atau PNS (Pegawai Negeri Sipil) sebagai pekerjaan hebat yang dapat menjamin hidup layak.

Memang sih, Saras pun tidak memungkiri itu. Tapi bukan berarti menjadi satu-satunya pekerjaan yang menyejahterakan kehidupan seseorang.

"Aku, kan, udah selesai. Cuma nggak lulus aja," kilah Saras yang membuat sang mama mendelik.

Sudah tiga tahun berlalu sejak Saras memutuskan untuk mengakhiri pendidikannya karena tertekan. Ya, memang keputusan yang sangat berat karena sudah berjalan hingga semester akhir. Tapi semua itu dilepaskan demi dirinya sendiri, yang menjalaninya, bukan orang lain.

Dulu ia meyakinkan diri bahwa semua pasti akan baik-baik saja. Tuhan akan memberi kelancaran bagi orang-orang yang mematuhi dan menyenangkan orang tua. Namun, menjalankan hidup karena keputusan dan pilihan yang bukan dari hati sendiri justru membuat bahagia Saras perlahan menguap. Sampai ia memutuskan untuk berhenti, menutup telinga dan mata untuk semua orang yang menentangnya saat itu. Saras hanya ingin bebannya terbuang dan masalah selesai.

Beauty and the BossWhere stories live. Discover now