Chapter: Twelve

97K 9.5K 604
                                    

Saras memutar-mutar benda pipih di tangannya. Tidak tahu apakah ia harus menjawab Whatsapp dari Ben atau justru membiarkannya.

Perempuan itu menepuk-nepuk kening, kesal. Dongkol pada diri sendiri karena membiarkan Ben "berhasil" mendekatinya lagi.

Sungguh, Saras sangat membenci kehadiran "orang ketiga" dalam suatu hubungan. Lalu, kedatangan Ben di hidup Saras membuatnya tiba-tiba harus memerankan tokoh perusak itu dalam kisah percintaan orang? Demi Tuhan! Saras tidak mau jadi penghancur bahagia perempuan lain karena ia paham betul akan rasanya.

Ya, saat Sinta menawarkannya untuk ikut ke acara lamaran, Saras menolak. Saras adalah orang yang paling tidak bisa berpura-pura bahagia di saat dirinya tidak. Saras bahkan menulikan pendengarannya saat Sinta berbicara tentang lamaran. Ia pun hanya pamit pada Sinta dan meninggalkan lokasi dengan kepala tertunduk. Tidak ingin berpapasan dengan siapa pun. Tidak ingin tahu tentang apa pun.

Saras bertekad untuk kembali mengabaikan pesan-pesan dari Ben setelahnya. Ia ingin Ben menyadari bahwa niatnya dalam mendekati Saras sedangkan statusnya sudah akan "resmi" terikat, tidaklah benar.

Tapi malam itu. Malam di mana Saras sangat bad mood dan merasa asing karena teman-temannya sibuk dengan pasangan masing-masing. Saras tidak menyalahkan mereka. Justru lebih aneh kalau mereka menemani Saras dan mengabaikan pasangannya. Saras hanya bersedih, karena lagi-lagi dirinya diingatkan akan "kesendiriannya" di depan banyak orang.

Kemudian Benara Wijaya datang bak seorang pangeran. Dengan setelan formal yang membalut pas tubuh proporsionalnya, melangkah menghampiri Saras dengan penuh percaya diri. Saras tidak dapat menolak pesona itu. Bahkan ia tidak berpikir untuk menghindar dari sosok beraroma maskulin yang membuatnya tanpa sadar ingin menetap.

Saras terlalu senang saat itu karena bertemu dengan seseorang yang dikenalnya. Seseorang yang saat itu tidak membawa pasangan dan memilih menemani Saras.

Saras tahu, ia salah besar. Ia terlalu terlena dengan sikap gentle Ben padanya. Suara berat dengan intonasi yang terjaga tiap kali lelaki itu bicara. Tatapan teduh yang tidak luput memandanginya tiap Saras bersuara. Lagi-lagi, alasan tersebut yang membuat Saras takluk. Memang, sejak dulu Saras selalu memuja lelaki yang pandai menjaga sikap dan memperlakukan perempuan dengan sangat bijak.

Drrrt... drrrt...

Getaran ponsel menguapkan lamunannya. Saras mengintip layar dan menemukan Ben kembali mengirim pesan lewat Whatsapp.

Saras tidak berani membuka. Membiarkan Ben tahu bahwa ia telah membaca dan sedang "online". Alhasil, Saras hanya membacanya lewat notification yang muncul di lock screen.

Ben:

Saras, saya nggak tahu salah saya apa lagi sampai kamu nggak mau balas.

It's okay kalau kamu nolak ajakan saya semalam. Saya nggak maksa. Serius.

I'm sorry if I bothered you.

Kali ini saya cuma mau kasih undangan.

Soalnya saya nggak tahu rumah kamu. Jadi saya kirim bentuk digitalnya aja ya.

Here...

(Ben send a pict)

Jujur, Saras merasa bersalah sekaligus sedih. Semalam Ben mengajak Saras untuk pergi ke hotelnya upaya mencicipi cheese cake terlezat menurut review di Zomato (situs pencarian tentang restoran), dan sekarang malah mengirimi undangan. Undangan apa maksudnya? Pernikahan?!

Saras benar, rasa penasaran yang menghantui pun membuat jemari lentik itu mau tidak mau membuka gambar yang dikirim Ben.

YOU'RE INVITED TO A WEDDING

Beauty and the BossWhere stories live. Discover now