Chapter: Eight

125K 11.1K 361
                                    

"Barusan itu adik kamu?" tanya Saras hati-hati.

Ben mengangguk. "Apa aku kelihatan kayak bapaknya?"

"Eh, bukan kok. Maaf ya," ringis Saras, tidak enak hati.

Ben terkekeh mendengar keluguan Saras. Dari luar perempuan itu memang tampak jutek dan terkesan angkuh, tapi sepertinya Saras adalah perempuan polos yang ramah. Entah, pemikiran itu membuat Ben tertarik untuk mengenal Saras lebih jauh. "Nggak apa-apa, Saras. Kamu jangan minta maaf terus."

Saras hanya tersenyum kikuk meresponsnya.

Setelah puas mengobrol panjang lebar dan mengambil gambar dengan Saras sebanyak puluhan kali, Keira pamit pulang lebih dulu karena ada janji mendadak dengan Raka. Alhasil, gadis itu pun meninggalkan Ben dan Saras berdua dalam situasi awkward.

Bagaimana tidak? Saras masih tidak bisa lupa bagaimana ekspresi kecewa Ben saat dirinya memutuskan untuk pulang sendiri waktu itu. Saras tahu, Ben tidak buta untuk menyadari usaha Saras dalam menghindarinya. Kini dirinya malah terjebak berdua dengan lelaki itu. Belum lagi insiden kesalahpahaman soal perempuan yang dibawa Ben ke hotel. Jujur, melihat Keira beberapa saat lalu secara langsung tidak kontan membuat Saras menyadari gadis itu adalah orang yang sama dalam foto yang Finna kirim. Dan begitu Ben muncul, barulah Saras mengerti.

Sebenarnya Saras masih bisa beralasan pergi sekarang juga untuk menemui Bianca, tapi lagi-lagi ia tidak enak. Pada akhirnya, ia mengirim pesan pada Bianca untuk berpisah meskipun keduanya masih berada di gedung yang sama. Bianca sampai menulis "ceramah" panjang lebar karena harus berburu incarannya seorang diri tanpa bisa bertanya pada "ahlinya" sebelum membeli. Namun, setelah mendapat penjelasan pasti dari Saras, Bianca langsung membalas dengan mengirimkan banyak sticker dan gif bertema suportif. Seperti teman-teman Saras yang lain, Bianca juga selalu antusias tiap kali ada yang mendekati Saras. Mereka berharap Saras bisa segera bertemu dengan jodohnya.

Mall saat ini cukup bising, tapi Ben merasa sepi ketika Saras tidak kunjung bersuara. Ia pun berdeham, memulai pembahasan yang baru. "Kamu nggak jadi belanja?"

Saras menggeleng. "Nggak. Kayaknya udah pada sold juga. Jadi, nanti aja beli online."

Tidak ingin mengecewakan Keira yang jelas-jelas menggemarinya, Saras pun merelakan waktu berburu untuk produk-produk incarannya. Saras sangat tersanjung mengetahui Keira menyukainya sejak subscriber Saras tidak lebih dari 20 orang dan selalu update tentangnya. Saras tidak sanggup menyia-nyiakan hal berharga seperti itu hanya untuk diskonan yang akan selalu ada tiap tahun, bahkan tiap bulan.

"Gara-gara Key, ya?"

Saras langsung menggeleng. "Nggak. Kok kamu ngomong gitu?"

Ben mengangkat bahu. "Karena dia rewel, kamu jadi kehabisan waktu buat beli yang kamu butuhin," tebaknya, sangat tepat sasaran.

"Saya justru senang bisa ngobrol sama dia. Saya merasa nggak masalah sama sekali," jawab Saras bersungguh-sungguh.

"Dia pasti senang banget dengar kamu ngomong begitu." Ben tersenyum manis. "Kamu tahu nggak? Dia itu pernah ngehabisin kuota saya cuma buat nonton video kamu."

Saras terkejut. "Serius? Padahal aku udah buat video dengan durasi sedikit mungkin."

"Resolusi yang dia pakai buat nonton video kamu itu selalu 1080p, katanya biar makin tajam dan jelas tutorial kamu di layar," ujar Ben.

"Tapi emang harusnya gitu sih. Apalagi buat nonton video berisi review suatu produk. Sekalipun si beauty vlogger-nya sendiri bilang kalau videonya is not sponsored atau endorse alias murni honest review, penonton pasti pengin tahu secara langsung dengan mata kepalanya sendiri, seberapa worth sih produk tersebut untuk dibeli. Dengan catatan, kamera yang dipakai buat shoot-nya juga bagus." Saras menggigit lidahnya dan meringis. "Ng... maaf, saya suka nggak sadar diri kalau bahas itu."

Beauty and the BossWhere stories live. Discover now