BAB XXVII: Escape 2

7.1K 582 66
                                    


Escape


'Berpencarlah!' batin Erza, ia sudah memikirkan beberapa opsi jika mereka tetap bersama, entah serangannya gagal dan dirinya tertangkap, atau ia akan mendapatkan luka baru dengan tingkat keselamatan yang sama sekali tak ia perhitungkan.

Beberapa menit berlalu dan benar saja harapannya tidak terkabulkan begitu saja, apa ia harus mengambil resiko untuk melumpuhkan 2 orang itu. Namun dengan luka dilengan kiri juga telapak tangannya, ia tak dapat berbuat banyak hal untuk melakukan penyerangan yang sempat ia rencanakan.

Saat 2 orang itu mulai melewatinya, Erza berpindah tempat kebelakang. Mengendap endap sambil membawa pecahan kaca ditangannya, jika saja 2 orang itu memeriksa tempat pertama ia bersembunyi mereka pasti bisa menemukannya dengan mudah.

Setidaknya Erza sedikit bersyukur karena mereka tidak begitu teliti dalam mencarinya.

Gadis itu mulai berjalan mengendap endap, mendatangi 2 orang bersenjata didepannya berbekal pecahan kaca. Inilah satu satunya cara, ia tidak bisa terus bersembunyi.

Melompat, Erza menerjang orang yang membawa Pindad SS2 VI lebih dulu dari belakang secara tiba tiba. Tanpa pikir panjang gadis itu menancapkan pecahan kaca yang dibawanya tepat di urat leher, yang tentu saja orang itu akan langsung mati begitu saja.

Dor! Dor Dor!

Dengan cepat ia mengambil alih Pindad SS2 VI itu, melesat kearah lain menghindari setiap tembakan yang dilayangkan oleh pria di hadapannya. Setelah mendapat sedikit kesempatan, Erza membidik kepalanya hingga tumbang dalam sekali tembak.

Erza berjalan mundur perlahan lalu bersandar pada mobil dibelakangnya sambil mengatur nafas yang tersenggal senggal, menatap diam kearah pundak kanannya yang mendapatkan 1 tembakan lalu pergelangan kaki kanannya yang mungkin saja terkilir. Erza sadar kalau dirinya terlalu memaksakan diri.

"Ck" ia hanya berdecak menatap luka luka yang didapatkannya sambil menggeleng geleng sendiri, mengambil shotgun juga handgun dari tangan pria itu lalu pergi meninggalkan mereka sambil berjalan tertatih.

Mencoba menutup telinga dari setiap jeritan, suara tembakan, ledakan, juga tangisan. Suara suara itu mengingatkannya pada medan perang, namun bedanya sekarang ia tak dapat membantu mereka.

.

.

.

Saat keadaan mall sedang dalam keadaan mencekam, penuh darah juga teriakan memilukan. Lain halnya dengan keadaan di pusat kendali mall itu, pria itu tampak dengan santainya duduk didepan layar yang terhubung oleh semua cctv mall.

Menikmati setiap wajah mereka yang satu persatu bersimbah darah. Alex bahkan tersenyum senang saat melihat dengan mudahnya Marino dapat melumpuhkan Reon yang pada dasarnya bukanlah manusia. Namun bukan itu yang ia incar sedari tadi, melainkan gadis yang berjalan sendirian mencari jalan keluar yang tak kunjung didapatkannya.

Dengan semua luka luka yang didapatkannya, bahkan membuat semangatnya untuk segera keluar dari tempat ini tidak kunjung reda. Alex sungguh terhibur sekarang, apa yang dia lakukan sekarang adalah sebagai bentuk hukuman secara tak langsungnya kepada Erza.

Membantu Marino yang memiliki dendam dengan Erza memang hal yang bagus. Sekarang ia bisa melihat bagaimana raut menyedihkan Erza saat memohon kepadanya nanti, itu yang dinantikannya sebagai penutup acara yang dibuatnya.

"Kau bisa mencarinya menunggunya di lantai 3, Erza sedang menuju kesana menggunakan tangga darurat" ucapnya memerintah Marino, dan dilihatnya pria itu langsung berlari menuju lift.

Mencoba menghiraukan Cain yang berusaha keras mengambil alih tubuhnya, yang mencecarnya sedari tadi agar ia tak melanjutkan apa yang dilakukannya setelah melihat bagaimana keadaan Erza. Alex tidak memperdulikannya.

Sambil mengintai tampilan cctv yang lain Alex memindlink Daniel yang berada jauh darinya sekarang. "Bagaimana keadaan disana?" tanyanya.

"Al, warrior yang kubawa sudah tidak bisa menghadang mereka lagi. Sepertinya mereka meminta bala bantuan" lapor Daniel, dia dan beberapa warrior sedang menghadang kumpulan tentara yang datang.

"Kalau begitu mundurlah, lagipula mereka tidak akan punya cukup waktu untuk menyelamatkan salah satu rekan mereka yang sedang terluka disini"

Sejenak Daniel terdiam disana, alisnya mengerut. Sebenarnya ia sedari awal tidak menyukai rencana yang dibuat Alex, rencananya terlalu kejam hanya untuk sebuah hukuman belaka. Sungguh malang memang gadis bernama Erza itu, padahal yang membuat segalanya terputus adalah Alex sendiri dan gadis itu tak memiliki salah apapun.

"Baiklah" jawab Daniel lalu memutus mindlinknya secara sepihak.

Puas mendengar kepatuhan Daniel, Alex kembali menatap layar monitor dihadapannya. Tersenyum karena tampaknya gadis itu barusaja bertemu dengan Marino.

.

.

.

Brak!

Erza terbatuk, darah mengalir keluar dari mulutnya. Entah berapa kali ia mendapatkan pukulan tepat dititik titik butanya hingga ia tak sempat menghindar atau menyerang balik, dan berakhir mendapatkan bantingan seperti ini. Sejak awal kekuatan mereka memang berbeda, mengangkat tubuh kecilnya lalu membantingnya kelantai memang hal yang mudah bagi Marino.

"Kau tidak menembakku kapten?" ejek pria itu berjongkok dihadapannya.

Erza mencoba bangkit dari telentangnya, tubuhnya yang penuh lebam dan luka lainnya ini mulai sulit ia gerakkan.

"Tulang rusukmu belum patah?" tanya Marino lalu menggenggam leher Erza layaknya tongkat, setelah itu pria itu melemparnya kearah lain sampai tubuh gadis itu terpental menabrak dinding dengan keras.

Gadis itu mendongak dan tetap mencoba bangkit untuk melawan, giginya mengatup rapat namun darah segar tampak masih mengalir disela selanya. Dirinya tidak bisa tumbang begitu saja disini, tujuannya adalah keluar untuk membinta bantuan.

"Bagaimana bisa kau masih tetap hidup? Aku yakin tulang tulangmu sudah patah disana" ucap Marino menghampiri Erza yang menatapnya sengit.

Tentu saja tatapan sengitnya mengundang kemarahan Marino, pria itu mencekiknya hingga ia tak berpijak lagi di atas tanah. "Beruntunglah kau gadis kecil karena tidak bisa merasakan semua rasa sakit ini" ucapnya setelah itu disusul oleh benda dingin yang terasa menembus perutnya.

Erza meronta saat dirinya hampir kehilangan nafas, sedangkan Marino tidak tinggal diam. Ia memutar belati yang yang tertancap di perut Erza hingga darah membanjiri lantai yang dipijaknya.

Pandangannya mulai mengabur seiring nafasnya yang semakin menipis, Erza tidak tau apa dirinya akan tewas begitu saja disini. Lalu bagaimana dengan Vano juga Flufy, ia harap mereka segera mendapatkan pertolongan jika dirinya benar benar berakhir disini.

.

.

.

Tbc

Hihihi, gk terlalu gore bukan? Bahkan menurutku ini bukan gore. Mulai dari sinilah war-nya. 

Kapan kapan aku kasih sedikit penjelasan secara singkat tentang novel ini:) 

Ingatlah untuk jujur ya, jangan berbohong. Aku gk suka bahagia diatas kebohongan, aku menerima kalian apa adanya, membaca atau tidaknya. 

Sniper Mate: Demon BloodWhere stories live. Discover now