Kehadiran Yang Mendadak

0 0 0
                                    

  Hidup ditengah tekanan yang mendera ini tak pernah bisa membuatku terbiasa. Hari-hari yang mencekam selalu membuatku gemetar saat memegang senapan. Berbanding terbalik dengan Prashraya ayahku yang dengan gagah menggenggam senjata untuk selalu siap siaga dalam menjaga bersama 3 bodyguard yang mengabdi padanya bernama Yodha, Giandra, dan Aruna.

   Kenangan lalu saat berkelahi dengan anak-anak pengganggu itu ternyata bukan tolak ukur keberanian jika dihadapkan dengan hal ini. Hingga aku berpikir, apakah aku bisa seperti ayah. Melindungiku, ibu, juga adik dengan gagah berani.

  Kilas balik yang aku rasakan dulu, jujur itu membuatku rindu. Rumah yang nyaman dengan halaman taman yang luas juga kebun anggur yang cantik memayungi tempat ayah berteduh kala rehat dari kesibukannya. Aku selalu melihatnya duduk membaca buku ditemani sekeranjang buah segar dan secangkir teh hijau hangat di atas meja.

Kamar luas dengan kasur mewah juga sofa yang langsung menghadap TV tersedia jika saja belum memutuskan untuk tidur dan memilih bermalas-malasan sembari menyantap kudapan buatan Bibi Shuani.

Berbeda dengan apa yang aku rasakan beserta keluarga sekarang. Tinggal di gubuk sederhana ber-atapkan daun kelapa di tengah hutan rimbun yang bahkan tak mempersilakan sinar Matahari untuk menembusnya.

Tessani ibuku, Cendrick adikku dan Bibi Shuani yang menjadi prioritas. Tidur kala malam dalam penjagaan ketat kami berlima. Jika pagi sudah menyingsing mereka akan terbangun menyiapkan makanan selagi aku dan yang berjaga lainnya beristirahat sejenak melepaskan rasa kantuk luar biasa.

Aku terbiasa hidup berdampingan dengan anak-anak biasa yang bermain di luaran sana dulu. Memakan makanan sederhana dan bahkan terasa jauh lebih enak ketimbang makanan mahal dengan sajian yang istimewa. Selain permen murah yang diberikan gadis itu, aku juga menyukai beberapa diantaranya talas kukus dan buah mangga curian yang belum matang. Rasanya begitu nikmat jika dicelupkan pada air garam.

Jadi aku terbiasa dengan makanan yang hanya bisa Bibi Shuani sediakan seperti Ubi bakar contohnya.

  Ibu kala itu sangat kesusahan untuk mengkonsumsinya dia selalu muntah hingga memutuskan untuk meminum air saja sebagai asupan. Seminggu selepas kepergian kami dari rumah pertahanan itulah yang hanya bisa mengganjal perut ibu. Hingga sebuah moment bahagia itu pun tiba. Ibu berhasil menelan ubi bakar itu susah payah.

  Aku tak menyalahkan ibu yang begitu manja, karena sejak kecil dirinya tak pernah mengalami hidup susah dan selalu tunduk pada ucapan mendiang kakek dan nenek. Hari-harinya dilalui dengan belajar, membantu orang tua, dan pulang tepat waktu juga tidur dengan teratur. Tanpa pernah merasakan hebatnya dunia luar.

   "Apa kau akan menghabiskan sepotong itu, Bu?" tanya Cendrick seraya tersenyum padanya.

Sembari mengusap air mata yang tiba-tiba keluar dari usaha muntah yang ditahan, ibu mengangguk.

   "Ibu akan usahakan, nak," Ucapnya. Cendrick pun memberi  pelukan kepada ibu. Momen itu sangat sulit bagiku, hingga akhirnya harus memalingkan wajah dan berdalih ingin buang air. Sesampainya di tempat yang dimaksud, aku menangis meratapi apa yang seharusnya tidak terjadi pada ibu yang sangat aku sayangi.

  Hari pun usai berganti gelap sunyi merayap bak kelambu hitam milik malam yang menutupi keberadaan tanpa diiringi oleh suara hewan-hewan nocturnal. Kami merasakan penjara yang melindungi dari para Nun yang berkeliaran. Ayah mengatakan jika makhluk setinggi 3 meter itu sangat aktif saat petang hingga fajar menyingsing. Tahu bahwa waktunya untuk manusia beristirahat dan akan membinasakannya kala sukma diambil alih oleh mimpi.

Karena kami memilih untuk bertahan hidup, maka terjaga kala malam datang adalah jalan satu-satunya. Jikalau mereka datang bisa dilawan dengan senapan untuk sesaat lalu pergi melarikan diri mencari tempat aman lainnya. Meski berpuluh kilometer, kami akan cari demi menyongsong hari itu yang diyakini akan tiba.

Me, Her, And GodWhere stories live. Discover now