Kabar Duka

57.4K 3.5K 200
                                    

Bibirku seakan-akan kelu, mendengar kabar kecelakaan itu. Pahadal baru beberapa hari lalu aku berbicara dengan Steven. "Kondisinya gimana, Vin?" tanyaku sambil berusaha menahan air mata. Ada sebuah harapan kalau Steven baik-baik saja.

"Kak Steven udah dibawa ke rumah sakit. Lagi di ruangan ICU," balas Kevin. Semakin membuat hatiku hancur.

"Kamu sekarang di mana?"

"Aku di rumah sakit sama Mbok Wati."

"Ayah? Udah kabarin ayah?"

"Udah, ayah lagi mau pulang."

Selanjutnya Kevin bercerita tentang kecelekaan yang menimpa Steven. Mobil yang dikendarainya menabrak pembatas jembatan. Ketika dia pulang setelah menjaga bunda di rumah sakit.

Kecelakaan itu membuatnya tidak sadarkan diri hingga detik ini. Kondisinya kritis, dengan luka serius di kepala. Dokter pun sedang berusaha menyelamatkannya.

Tak terasa air mata mulai jatuh, memikirkan adikku yang sedang berjuang antara hidup dan mati. Beberapa orang memandangiku dengan tatapan heran. Bagaimana bisa di tengah suasana festival yang meriah ini. Aku hanya duduk sendirian di lobi hotel dan menangis.

***

Ting!

Sebuah pesan masuk. Kuseka air mata yang daritadi jatuh perlahan. Menatap ponsel yang ada di genggaman.

[Kak]

Tulis Kevin.

[Ya]

Kuperhatikan tombol centang abu-abu berubah menjadi biru. Kevin sudah membacanya, tapi tidak ada balasan. Notifikasi—sedang mengetik pun tak terlihat.

[Vin? Ada apa?]

Kukirim beberapa pesan untuk menanyakan keadaan di sana. Lagi-lagi hanya dibaca saja. Kesal, akhirnya aku meneleponnya. Telepon diangkat. "Halo, Vin?" tanyaku.

Terdengar suara isak tangis di balik telepon. "Kak Qila nelpon, Den." Aku bisa mendengar suara Mbok Wati. Diiringi suara tangisan seseorang, jelas sekali itu tangisan Kevin.

"Halo? Mbok?"

"Ya, Non."

"Kevin ke mana? Daritadi kok gak bales."

"Maaf, Non. Den Kevinnya lagi gak mau ngomong."

"Ada apa sih, Mbok?"

"Non yang sabar ya." Firasatku sudah tidak enak. "Den Steven meninggal," imbuhnya.

Seketika itu tubuhku lemas, seperti kehilangan separuh nyawa. Ponsel pun terlepas dari genggaman, terjatuh ke lantai. Air mata mulai mengalir deras.

Tingkahku itu semakin menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di lobi hotel. Kuraih ponsel di lantai, lalu berlari menuju lift. Aku tak bisa menahan derasnya air mata, sampai beberapa orang di lift menanyakan. Apakah aku baik-baik saja?

"Tidak! Aku tidak sedang baik-baik saja," batinku, sambil berusaha mengurai senyum di hadapan mereka.

Ke luar dari lift, tanpa sengaja aku bertemu dengan Carl. Dia nampak khawatir melihat kondisiku. Berusaha mengejarku yang langsung berlari ke kamar.

Tok! Tok! Beberapa ketukan cepat terdengar di pintu. Sudah pasti itu Carl. Dia terus menanyakan, ada apa? Apa kamu baik-baik saja? Sampai dia memaksa beberapa temanku yang lain untuk membujukku membukakan pintu. Namun aku bersikeras untuk tidak membukanya.

"Tolong, tinggalkan aku sendirian!" teriakku. Namun mereka tetap memaksa, kemudian mencoba menghubungi ponsel. Cepat-cepat kumatikan saja ponselnya, lalu berbaring di tempat tidur.

Selamat Dari Tumbal PesugihanOnde as histórias ganham vida. Descobre agora