KANDITA

175 15 1
                                    

Kegelapan. Itu hal pertama yang dapat ia sadari ketika ia membuka matanya.

Seluruh tubuhnya terasa remuk. Mulutnya mengecap darah yang mengalir dari dinding pipinya yang terluka. Ia dapat menarik napas, namun dalam tiap tarikan napas ia dapat merasakan nyeri hebat menekan dinding dadanya. Seolah rusuknya memutuskan bahwa ini adalah saat yang tepat untuk menusuk dadanya dari dalam.

Ia tahu dirinya berada di dalam kendaraan yang bergerak. Telinganya dapat mendengar suara halus mesin di antara debaran nadi yang berdenyut di telinganya. Tubuhnya dapat merasakan kalau kendaraan yang mengangkutnya bergerak cepat sekalipun ia tak dapat melihat ke mana arah kendaraan itu melaju.

Tangannya meraba kantong celana yang ia kenakan. Ponselnya tidak ada di sana. Ia berusaha menelan darah yang mulai memenuhi mulutnya, dan perlahan menegakkan tubuhnya. Tak terlalu tinggi untuk membuat orang yang mengendalikan kemudi kendaraan ini menyadari pergerakannya, namun cukup tinggi untuk menangkap kilasan-kilasan cahaya di antara celah tempat duduk. Ia kini tahu kalau dirinya berada di bagian belakang sebuah mobil.

Sentakan mendadak membuat wajahnya seketika menabrak tempat duduk di hadapannya, dan tubuhnya kembali tersungkur di lantai mobil yang berlapis karpet. Ia tak terlalu menyadarinya sebelum ini, tapi karpet lantai mobil ini wangi. Seolah karpetnya diasapi oleh dupa. Karena aroma itulah yang ia tangkap dari karpet yang kini menjadi alas wajahnya.

Mesin mobil itu perlahan mati, dan ia dapat mendengar suara pintu mobil dibuka, sebelum kemudian dibanting tertutup kembali. Tak lama kemudian pintu belakang mobil tempat ia berada dibuka, dan ia dapat merasakan terpaan angin segar menghantam wajahnya. Ia dapat mencium aroma air garam. Laut? Ia berada di pantai.

Orang yang membuka pintu mobil itu seketika menarik kakinya dengan kuat, dan menyeret tubuhnya dengan cepat keluar dari mobil. Sertamerta, wajahnya yang awalnya bersandar di atas karpet seketika terseret dan kemudian mencium pasir. Untunglah siapapun yang menyeret kakinya tidak mendaratkan kepalanya di atas aspal.

"Mana kain hijaunya?" ia dapat mendengar suara berat orang yang menyeret kakinya bertanya. Ia tak mendengar jawaban, tapi tak sampai sekejap, kepalanya seketika ditegakkan dan ditutup dengan kain gelap.

Ia dapat mendengar suara orang yang sama tertawa. "Tumbal tambahan untuk Nyai Roro Kidul!" kekehnya.

Ia dapat mendengar suara nadi di telinganya berdenyut lebih keras. Ia tahu ajal akan segera menjemputnya. Beberapa saat kemudian ia dapat merasakan kedua kaki dan tangannya diikat dengan tambang. Dan kemudian ia merasakan tubuhnya diangkat dari atas pasir dan dibopong. Sesuatu berbentuk persegi tiba-tiba ia rasakan diselipkan dalam saku celananya.

"Jangan dendam pada kami, Bung! Ini semua adalah karena kau tak punya cukup atma untuk bertanding di arena!" kekehan dari orang itu kembali terdengar di telinganya. Sekejap kemudian ia dapat merasakan dirinya dilempar. Melayang diterpa hembusan angin, sebelum tertarik jatuh dengan cepat oleh gravitasi. Telinganya dapat mendengar deburan air sebelum ia merasakan dirinya terhantam gelombang air asin.

Secara refleks tubuhnya meronta, namun usahanya sia-sia. Air asin seketika memenuhi hidung dan mulutnya, ia tak lagi dapat bernapas.

"Itukah kau, Sura?"

Matanya seketika terbuka lebar. Kepalanya tak lagi tertutup kain gelap. Di depannya seorang wanita berkebaya kebangsawanan jawa tampak menatapnya sambil tersenyum. Ia yakin ia tak lagi dapat bernapas, namun ia tak merasa sesak. Ia dapat merasakan ikatan tambang di tangan dan kakinya melonggar, dan saat ia melihat ke bawah, ia dapat melihat tali yang tertambat pada sebuah batu melesat tenggelam di telan kegelapan laut. Ia dapat merasakan sakunya bergetar. Dengan cepat ia meraih ponsel dari dalam sakunya dan menatap layarnya yang menyala ganjil menampilkan logo asterik Code Atma. Bagaimana ponsel itu tetap hidup di tengah laut, ia tidak tahu.

Wanita di depannya tertawa. "Kau hampir mati, tapi apa kau mau meminta pertolongan dariku?" tanya wanita itu pelan. Sekejap ia sadar wanita itu tidak berbicara dalam bahasa yang dikenalnya, tapi ia dapat memahami kata-kata wanita itu. Tangannya menyentuh layar ponsel dan mengakses aplikasi Code Atma di dalamnya. Sekejap dari layar ponsel itu ia dapat melihat atmanya, hiu martil es bertubuh manusia. Sura. Atmanya tampak terluka parah, dan sama seperti dirinya, ia menatap sang wanita dengan tatapan tak percaya.

"Aku bertanya kembali padamu, apa kau mau meminta pertolongan dariku?" tanya wanita itu kembali.

Sura kini menatap ke arahnya. Hiu itu memejamkan mata dan mengangguk. Wanita itu kemudian menatap langsung ke arahnya dengan tatapan mengundang. "Sebut namaku!" ucapnya lembut.

Ia membuka mulutnya. Satu nama terlintas jelas di kepalanya. "Kandita!"

-FIN-

-FIN-

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sura

Nyai Roro Kidul a

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Nyai Roro Kidul a.k.a Kandita

Code Atma - A Fanfiction Compilation by Irene FayeWhere stories live. Discover now