SOMAWARI

97 13 1
                                    

Suara dering telepon langsung membuat Wulan membuka matanya. Tangannya dengan cepat meraih gagang telepon yang terletak tepat di sebelah kepalanya.

"Halo, dokter. Pasien kamar 12 ranjang 1, keluarganya bilang ngantuk-ngantuk, dok. Gak bisa dibangunin!" suara perawat di seberang telepon langsung membuat Wulan mengangkat tubuhnya dari ranjang dan memutar otaknya. Berusaha mengingat identitas pasien yang dimaksud sang perawat.

Wulan berjalan dengan cepat keluar dari kamar jaga tempatnya beristirahat, dan menatap jam yang menempel di dinding. Pukul setengah dua pagi. Saat kau bekerja di rumah sakit, tak butuh waktu lama bagimu untuk beradaptasi dengan irama kehidupan yang jauh berbeda dengan dunia kehidupan orang normal kebanyakan.

Wulan mencuci tangannya dengan cepat. Memutar kembali seluruh informasi berkenaan pasien yang akan segera dihadapinya.

Tuan Santoso, 75 tahun. Tiga bulan yang lalu beliau terpeleset di kamar mandi dan mematahkan tulang punggungnya. Setelah operasinya berakhir baik, ia menolak menjalani rehabilitasi dan memilih untuk hanya berbaring di atas ranjang. Tiga hari yang lalu, ia datang ke rumah sakit ini dengan keluhan lemas dan sesak. Hasil laboratorium menunjukkan jumlah elektrolit di dalam darahnya sangat rendah. Tanda, selain kurang beraktivitas, Tuan Santoso yang menolak untuk makan pun kekurangan nutrisi untuk menjaga keseimbangan kerja sel dalam tubuhnya. Wulan menarik napas panjang. Ia tahu bagaimana akhir dari kisah ini.

Umumnya, orang normal tidak akan panik jika ia mendapati keluarganya mengantuk di dini hari. Tapi orang tua memiliki kecenderungan insomnia. Mengantuk di dini hari, di saat biasanya ia tak bisa tidur, merupakan salah satu tanda penurunan kesadaran.

"Selamat malam, saya dokter Wulan, dokter jaga malam ini! Saya akan memeriksa ayah anda!" ucap Wulan tenang saat ia memasuki kamar pasiennya. Ia dapat melihat keluarga pasien tampak menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Wulan mengangguk sejenak ke arah mereka sebelum melontarkan tatapannya pada pasien yang berbaring di atas brankar.

Keadaan pria yang menjadi pasiennya itu buruk. Napasnya tampak berat dan matanya yang terbuka dan tertutup pelan tampak kosong. Wulan segera menepuk bahu pasiennya dengan sedikit keras.

"Pak Santoso! Apa bapak bisa dengar suara saya?" tanyanya lantang. Tidak ada respon. Wulan kemudian menekankan kepalan tangannya ke atas tulang taji pria itu. Merangsang nyeri dengan menggiling sedikit tulang taji pria itu dengan ujung jari kepalan tangannya.

"Pak Santoso! Apa bapak bisa dengar suara saya?" tanyanya lagi. Tetap tidak ada respon.

Wulan dapat melihat pria itu menarik napas dalam sekilas sebelum menghembuskannya dengan pendek. Jari Wulan serta merta meraba nadi yang terdapat di leher pria itu. Ia dapat merasakannya. Getaran nadi yang terasa halus dan perlahan-lahan menghilang.

Dengan cepat Wulan menekan tombol biru yang terdapat di dinding dekat kepala pasiennya. Suara speaker di Rumah Sakit itu pun menggema kuat.

"Code Blue! Kamar 12 ranjang 1! Sekali lagi. Code Blue! Kamar 12 ranjang 1!"

Tangan Wulan dengan sigap meratakan posisi brankar tempat pasiennya berbaring dan langsung melakukan tindakan pijat jantung. Menghitung tiap tekanan di dalam kepalanya.

Tak sampai sepuluh detik, rombongan perawat yang menemaninya berjaga malam itu segera masuk dan melaksanakan tugas mereka. Salah satu perawat menangkupkan sungkup kantong napas buatan ke atas hidung dan mulut pria itu, sementara perawat yang lain dengan cepat menghubungkan dada pasien dengan monitor pembaca irama jantung.

Wulan menyelesaikan siklus pertama resusitasi jantung parunya, sebelum membaca monitor tersebut. Garis lurus. Tidak ada respon dari jantung pasien.

Code Atma - A Fanfiction Compilation by Irene FayeWhere stories live. Discover now