extra | di jogja

70.1K 7.4K 2.9K
                                    

warning: orang ciuman. si bayi. some innuendos. 




***

"Jogja?"

Itu respon pertama Jenar waktu dengar usul Rei soal tempat yang mungkin mereka kunjungi buat jalan-jalan. Nggak tau kenapa, menyebutnya honeymoon terasa kurang tepat. Mungkin karena ini sudah lewat tiga bulan dari hari pernikahan—soalnya kalau ngelihat orang-orang masa kini, yang namanya honeymoon tuh biasanya langsung gas nggak lama setelah sah, kan. Ditambah lagi, honeymoon biasanya berdua doang—baru pulangnya bisa jadi, yang nyaris bertiga, sebab kemungkinan besar, selama masa-masa bulan madu sudah terjadi pembibitan. Sedangkan teknisnya, sekarang tuh yah keluarga mereka sudah bertiga karena si bayi sudah meluncur duluan, sekarang lagi asyik rebahan dalam perut.

Tadinya, Rei sama Jenar nggak terlalu memikirkan soal jalan-jalan. Habisnya, nggak ada yang banyak berubah diantara mereka. Tinggal masih satu apartemen. Keranjang pakaian kotor masih barengan. Bobo di satu kasur pun sudah dilakukan sejak lama. Perbedaannya hanya, sekarang mereka sudah punya akta nikah. Cuma, orang tuanya Jenar yang ngotot, masa nggak ada honeymoon. Lagian, selama dua tahun ini, Rei dan Jenar belum pernah jalan-jalan khusus berdua saja gara-gara sibuk jadi budak korporat.

Akhirnya, mereka berdua mengalah, terus sama-sama saling berdiskusi soal tempat yang mungkin dijadikan destinasi.

"Emang kenapa kalau Jogja?"

"Nggak apa-apa, sih. Tapi—"

"Nggak apa-apa, tapi ada tapinya."

"Heran aja."

"Kenapa gitu?"

"Soalnya dari sekian banyak destinasi yang ditawarin Mama atau diusulin Kak Hyena, lo milihnya Jogja. I mean, of course, Jogja is also a wonderful placebut I thought Mama would want us to go somewhere more..."

"More apa?"

"Orangtua gue dulu honeymoonnya di Hawaii, Regina."

"Hm, terbukti tajir dari dulu ya. Dasar tukang pamer."

"Nggak gitu, maksud gue."

"Gue nggak mau ke Hawaii. Gue nggak suka pantai. Panas. Lo kan tau, gara-gara si bayi, gue jadi gampang gerah."

"Jogja panas loh."

"Tapi kan nggak main air."

"Ada Parangtritis."

"Still, nggak mesti main air."

"Di Hawaii juga nggak mesti main air."

"Tapi kedengaranya kayak sia-sia banget nggak, sih? Ke Hawaii, tapi nggak main air. Itu sama aja kayak ke Bali tapi nggak ke pantai."

"Emang di Jogja mau ngapain, sih?"

"Lihat candi."

Jenar berdecak. "Gitu doang?"

"Makan di angkringan." Rei mengangkat alis, disusul membuang napas pelan. "Oke, kalau nggak mau. Gue juga nggak maksa, kok. Lo kan nanya, kira-kira ada nggak tempat yang kepikiran sama gue. Jujur, yang kepikiran tuh Jogja. Tapi sekiranya lo mau ke tempat lain, yaudah, gue ngikut-ngikut aja. Nggak jalan-jalan pun gue nggak apa-apa kok."

Rei boleh saja bilang begitu, namun usai menyelesaikan ucapannya, dia beranjak dari duduk, langsung berjalan masuk kamar. Jenar menatap punggung perempuan itu. Benar-benar bukan Rei banget, main ngeloyor pergi begitu saja kayak remaja cewek lagi ngambek. Tapi ya, kalau Jenar perhatikan, memang semenjak bunting si bayi, Rei tuh jadi lebih sensitif.

Teknik ✅Where stories live. Discover now