extra: the aftermath

60.3K 6.6K 1.8K
                                    

"Wirya gimana?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Wirya gimana?"

Jenar baru saja menutup pintu ruangan ketika Rei menembaknya dengan tanya. Cowok itu menghela napas berat seraya melangkahkan kakinya untuk mendekati Rei. Dia kembali duduk di kursi yang berada tepat di sisi ranjang tempat Rei masih berbaring.

"Nangis."

Kecemasan tampak di wajah Rei. "Rossa nggak kenapa-napa, kan?"

"Kata Wirya, kondisinya belum stabil banget tapi kemungkinan besar, kalau nggak ada komplikasi, Rossa bakal baik-baik aja. Masalahnya..."

"... masalahnya?"

"She lost the baby."

Rei tercekat, tidak mampu berkata-kata.

"But, isn't it for the best? Jangan tersinggung, maksud gue, Rossa juga nggak pernah menginginkan bayi itu ada. Jella emang bilang, akhir-akhir ini hubungan Rossa sama Jaka udah lebih membaik, tapi apa itu aja cukup? Kita semua masih kuliah. Bertanggung jawab sama diri sendiri aja nggak sepenuhnya mampu, apalagi bertanggung jawab sama manusia baru yang kondisinya lebih rentan?" Jenar berkata. "And to think that Rossa's parents are against Jaka. Gue rasa... mungkin ini yang terbaik."

"Lo nggak berhak bilang begitu." Rei menyergah.

"What?"

"Lo nggak berhak bilang begitu, Je. Lo, gue, yang lainnya cuma orang luar, bukan Rossa atau Jaka yang ngalamin semuanya. Even Wirya aja nggak bilang kalau ini yang terbaik." Rei berujar, bikin Jenar jadi tidak tahu harus bilang apa. "Gue nggak mau sampai dengar ada yang bilang lo ngomong gitu di depan Jaka, apalagi Rossa."

"Iya, maaf."

"Nggak ada kematian yang patut dirayakan, nggak peduli itu orang yang lo benci sekalipun."

"Iya, Regina. Maaf..."

"Lo bersikap seolah-olah lo barusan dimarahin nyokap lo."

"You sounded like a mom."

Rei mengerutkan dahi, tapi melihat Jenar yang cemberut, dia akhirnya malah tersenyum. Sadar Rei malah senyam-senyum penuh arti, Jenar jadi heran.

"Kenapa senyam-senyum?"

"Senyum doang, masa nggak boleh?"

"Mencurigakan."

"Jadi lo lebih suka lihat gue nangis ya?"

"Lihat lo nangis di kasur? Jujur, kangen."

"Jenar, mulutnya ya!" Rei melotot sambil memekik keras, yang lalu disusul erangan karena ada satu titik yang berdenyut sakit di dadanya. Jenar langsung panik.

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa..."

"Muka lo merah."

Teknik ✅Where stories live. Discover now