Prolog

6 3 2
                                    


27.000.000!

Matanya terbelalak memandangi layar putih di tangannya.

Tidak mungkin. Aku tidak mungkin bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Batinnya berbicara.

Namun, saat melihat tubuh di hadapannya, dia merasa harus melakukan sesuatu. Wanita yang berbaring di atas ranjang kecil itu terlihat begitu kurus. Ah, bukan kata kurus lagi yang tepat, tapi kerempeng. Sebab, sudah tidak ada lagi daging yang menempel di tulang. Membuat kulit hitamnya itu tampak menggelayut lembek.

Mata perempuan yang tertidur lemas itu juga terlihat cekung. Meskipun terkatup rapat, tapi dia tetap bisa melihat bola mata itu jauh menjorok ke dalam. Bibirnya juga terlihat begitu putih. Bukan. Bukan karena kulit Bu Romlah bening. Namun, karena tidak ada darah yang mengalir ke seluruh tubuhnya, membuat janda itu terlihat begitu pucat.

Apa kebahagiaan yang telah ibu rasakan? Gadis itu bertanya pada diri sendiri. Membuat air matanya perlahan mengalir membasahi pipi.

Dia menggelengkan kepalanya perlahan. Memberi jawaban atas pertanyaannya sendiri.

Jadi, apa yang harus aku lakukan untuk memenuhi keinginan ibu? Dia kembali berdialog pada diri sendiri. Meskipun akhirnya dia terlihat menyerah. Sudah tidak ada lagi jalan yang bisa ditempuh di hadapannya. Semua terlihat buntu.

Kemarin, dia baru saja bertanya pada orang yang menunggui pasien di sebelah ranjang ibunya. “Mbaknya sakit apa, Bu?”

“Tidak sakit,” jawab perempuan itu sambil tersenyum.

Gadis itu tidak bisa menyembunyikan keheranannya. Bagaimana bisa perempuan muda yang berbaring di atas ranjang itu dikatakan tidak sakit. Padahal, sudah jelas sekali dia tampak tidak berdaya.

“Dia sedang hamil. Biasa, mengidam anak pertama memang harus berjuang.” Ibu itu seolah-olah paham dengan ekspresi yang ditampakkan oleh lawan bicaranya.

Hari ini, Nur mengambil kesimpulan sendiri. Berarti ibunya juga mengalami kesengsaraan serupa. Itu baru tahap awal. Belum lagi saat perut seorang ibu bertambah besar di bulan-bulan berikutnya.

Anak gadis itu bisa membayangkan bagaimana beratnya membawa bayi di dalam kandungan. Belum lagi pekerjaan ibunya sebagai seorang pedagang kue keliling. Membayangkan hal itu membuat Nur semakin sesenggukan menangis.

Lalu, sekarang apa yang bisa dia lakukan. Nur terdiam sesaat. Hingga terlihat benar-benar menyerah. Dia hanya berjanji pada dirinya sendiri untuk memberikan hadiah istimewa kepada ibunya.

Namun, janji itu sesaat memudar. Samar-samar, dia mendengar mulut ibunya bersuara dengan pelan.
“Labbaika allahumma labbaik.”

Ide GilaWhere stories live. Discover now