Berjuang

7 3 3
                                    

Malam itu, Nur tidak bisa terlelap. Meskipun matanya tertutup, tapi otaknya terus saja sibuk mencari solusi. Hingga suara ayam berkokok merdu menandakan matahari akan segera terbit.

Nur bergegas bangun. Otaknya tiba-tiba dihinggapi sebuah ide kreatif. Membuat gadis 22 tahun itu tersenyum ceria. Meskipun mengantuk, tapi mata hitamnya benar-benar memperlihatkan binar kebahagiaan. Kalau diibaratkan seperti film kartun, saat ini di mata Nur ada banyak manik-manik kecil berwarna putih.

Aku tidak boleh menunda. Jika Emak dahulu bisa melakukannya untukku, kenapa hari ini aku tidak bisa.

Dia memperkuat langkahnya yang tampak sempoyongan. Lelah bekerja selama delapan jam dan tidak tidur, tentu akan membuat tubuh kehilangan banyak energi.

Setibanya di dapur, wanita berdagu runcing itu meminum air putih beberapa gelas. Dia yakin, senyawa H2O bisa bikin tubuhnya kebal terhadap penyakit dan tetap kuat menjalankan banyak rencana di otaknya. Selain itu, cairan berwarna bening di tangannya, juga bisa membantu Nur tetap fokus dengan apa yang dikerjakan.

Dia bergerak ke pelimbahan. Tempat orang-orang di rumah berlantai papan ini mencuci piring dan pakaian. Tidak. Di gubuk yang selalu berdenyit-denyit jika ada anak-anak tetangga bermain, tidak mempunyai kamar mandi seperti layaknya banyak rumah di Kota khatulistiwa. Pondok yang terletak di pinggir kota ini, hanya mempunyai sebuah kamar kecil—ruangan yang dibuat khusus untuk BAB dan BAK. Itu pun letaknya jauh ke belakang.

Nur membasahi wajahnya dengan air. Meresapi setiap anggota wudu yang dibasuhnya. Berharap bisa khusyuk dalam menjalankan ibadah yang sudah begitu lama ditinggalkan.

Indah. Ada air mata mengalir dalam setiap gerakan salatnya. Hingga berakhir pada sebuah permohonan singkat tapi bermakna. 'Ya Allah, panggil Emak ke tanah suci-Mu. Apa pun yang terjadi, buat orang yang telah melahirkanku berangkat ke Mekah dalam waktu dekat ini, Ya Allah.'

Cukup mendapatkan kekuatan batin, Nur melanjutkan perjuangannya lewat ikhtiar. Dia mengambil sepeda mininya yang tersandar di dinding rumah. Mengayuh kendaraan roda dua tanpa mesin itu menuju pasar. Dia tahu ini masih sangat subuh. Sebelum keluar rumah, dia sempat melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 03.30 pagi. Namun, semangatnya yang besar, membuatnya tidak ingin menunggu pagi. Dia tidak ingin membuang kesempatan.

“Dari mana, Nur?” tanya Bu Romlah yang sedang berdiri di depan pintu. Ada raut kecemasan pada wajahnya yang tampak begitu lelah.

Nur tidak menjawab. Dia hanya menggeleng, sambil mencoba menahan gejolak yang tiba-tiba muncul di dadanya. Nur merasa sangat bersalah karena belum bisa membahagiakan wanita di hadapannya. Padahal, ibunya sudah begitu tua. Kulitnya sudah berkeriput, rambutnya sebagian telah memutih, dan tubuhnya sangat terlihat kurus.

Nur tidak bisa berbohong. Air matanya berdesakan membanjiri pipi. Meskipun tidak bicara terang-terangan, tapi ibunya tahu kalau anaknya membutuhkannya.

Bu Romlah maju dan mendekap gadis lusuh di hadapannya. Memberikan kehangatan yang selalu membuat Nur kuat dan bijak.

“Mandi dulu, Nul. Terus salat! Biar Emak yang bantu. Mau buat apa?” Tangan bertekstur kasar itu mengambil barang-barang yang ada di tangan Nur.

“Buat nasi kuning, Mak,” jawabnya mantap, sambil mengelap air matanya yang masih tersisa dengan ujung bajunya. Dia yakin orang-orang yang berkumpul di pos polisi depan pasar, pasti belum sarapan pagi saat dia datang. Maka, mereka itulah yang menjadi sasaran empuk Nurhasanah.

Perkiraan Nur tepat. Semua pekerjaan beres saat jam di dinding menunjukkan pukul 06.00 WIB. Dia tersenyum lega. Sekarang tinggal memasukkan nasi kuning dan lauk-pauknya ke dalam mika. Kemudian menatanya dalam plastik hitam besar agar mudah dibawa.

Nur yang sudah mandi dan rapi dengan jilbab tipis segi empat tanpa aksesoris, langsung pamit dan membawa dagangannya.

“Kenapa perginya terlalu awal, Nul? Kan tokonya buka jam delapan. Terus, kenapa tiba-tiba mau jualan nasi kuning?”

Lagi-lagi, perempuan tanpa riasan wajah itu hanya tersenyum. Dia sudah mengatur segalanya secara cermat di dalam otak. Setelah memasarkan dagangan, Nur berencana mencari tambahan lebih dengan bekerja serabutan. Membantu siapa saja di pasar yang memerlukan pertolongan. Dia yakin dengan bekerja lebih keras, dia akan mendapatkan uang lebih banyak.

“Mak, Nur berangkat dulu. Assalamualaikum.” Gadis berbaju kaos panjang itu menciumi tangan perempuan di hadapannya.

“Kenapa pertanyaan Emak tidak dijawab, Nul?”

Perempuan bercelana panjang longgar itu kembali menggeleng sambil mendaratkan sebuah ciuman penuh cinta di pipi cekung ibunya. Kemudian bergegas mengayuh sepedanya yang tidak lagi sempurna. Pelindung rantai dan remnya sudah hilang semua.

Tuhan sepertinya mendengarkan doa Nur. Tidak butuh waktu lama, 20 bungkus nasi kuning langsung terjual habis. Perjuangan yang melelahkan seolah-olah terbayar dengan lembaran-lembaran uang kertas di tangan Nur.

Dia kembali mengayuh sepeda menuju pasar sayur. Menawarkan tenaganya untuk dibeli. Lima menit kemudian, gadis yang sudah mempersiapkan baju ganti di dalam tasnya itu, langsung berjibaku dengan puluhan kilo sayur. Mencuci, memotong, dan mengikatnya, sehingga siap langsung dijual. Meskipun lelah mulai menggerogoti tubuhnya, dia tidak peduli. Tekadnya yang bulat, menjadi kekuatan tersendiri bagi Nur.

Nur merenggangkan sendi-sendi yang terasa sengal. Memutar badan ke kanan dan ke kiri. Kemudian kembali bergegas mengganti pakaiannya di kamar ganti tempatnya bekerja.

“Baju koko, rok, celana anak dan dewasa, gamis, kerudung. Liat-liat dululah, Bu!” Nur sudah berdiri depan toko, menawarkan macam-macam barang yang dijual bosnya dengan suara nyaring.

“Tumben? Kamu tidak kerasukan jin, ‘kan, Nur?” Sisil sahabat kerjanya tampak keheranan melihat perubahan Nur.

Namun, gadis itu hanya tersenyum. Dia sadar kalau ini bukan dirinya, tapi dia berharap keramahannya bisa membuat pembeli tertarik untuk singgah. Jika banyak barang yang laku, pemilik toko biasanya akan menambah uang jajan pada pegawai toko yang telah memberikan hoki.

“Nur, ini tambahan uang jajan untuk kamu.” Tauke bermata sipit itu memberikan sehelai uang merah saat toko akan ditutup.

“Terima kasih, Ce.” Mata itu berbinar.

Setelah membantu bosnya merapikan semua pakaian dan menutup toko, Nur tidak langsung pulang. Dia kembali menggunakan tenaganya untuk mencuci piring di sebuah rumah makan. Hingga malam terus beranjak. Tanpa pernah menghiraukan tubuhnya yang lelah, Nur terus bersemangat menyelesaikan setiap pekerjaannya.

“Ini untuk gaji kamu!” Pemilik rumah makan itu menyerahkan selembar uang lima puluh ribu.

Nur mengangguk dan berterima kasih.

“Kalau kamu mau. Kamu bisa bekerja setiap malam di sini. Saya akan memberimu gaji tetap. Tapi, kamu baru boleh pulang sekitar jam sebelas malam. Saat toko ini sudah tutup.”

“Mau, mau,” jawab Nur antusias.

Benar saja. Saat Nur melihat di gadgetnya, di sana sudah tertera pukul 23.09 WIB. 

Dia bergegas mengambil sepedanya di parkiran. Dia tahu perempuan tidak baik pulang semalam ini. Namun, tekadnya mengalahkan rasa takut di dadanya.

“Tidak perlu naik sepeda, Dik. Biar Abang antar pakai motor.”

Seorang laki-laki berbadan tegak dan berambut panjang memandanginya dengan mata tajam. Seperti seekor singa yang siap menerkam mangsanya.

Nur segera mengambil ancang-ancang untuk mengayuh sepedanya dengan cepat. Nur menyadari kalau dia dalam bahaya. Sayangnya, tangan kekar itu telah memegangi setang sepedanya dengan kuat. Membuat tubuh Nur bergetar ketakutan. Giginya bergelut menahan tangisnya.

Ide GilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang