Pertolongan?

5 2 1
                                    

“Baru balek, Nur?” Bu Romlah menghampiri Nur yang baru saja masuk ke dalam rumah.
Nur tidak peduli. Dia terus saja berjalan melewati ibunya.
“Ndak usah kerje di sanalah, Nur. Ndak bagos perempuan balek jaoh malam.” Perempuan itu sedikit menaikkan volume suara.
Langkah kaki Nur terhenti. Dia menoleh ke belakang, menatap wajah perempuan yang terlihat semakin pucat. Di saat yang sama, dia merasa semakin tidak berguna. Tidak bisa memberikan kebahagiaan pada ibunya.
Dia kembali berjalan menuju kamar. Membiarkan Bu Romlah bertanya-tanya akan sikapnya. Lalu duduk dengan lemas di atas kasur. Kenapa sulit sekali? Bahkan cara kotor sekali pun tidak membuahkan hasil, Resah Nur dalam hati.
Dia melempar bantal yang ada di sampingnya sembarangan. Meluapkan kemarahannya pada diri sendiri. Belum puas, Nur bangkit dari duduknya. Menendang kasur dengan sisa-sisa tenaga. Membuat benda berlubang itu memuntahkan kapas di dalam perutnya.
Kenapa, Tuhan?  Nur berteriak dalam hati sambil meninju kakinya yang meringkuk tidak berdaya. Air matanya mengalir deras. Malam ini dia merasa benar-benar terpukul. Semua usahanya terasa sudah berada di titik buntu.
Dia membenamkan wajah di balik kedua lututnya. Menangis lebih keras.  Bu Romlah yang telah kembali ke kamarnya tahu kalau anaknya tidak sedang baik-baik saja. Namun, dia juga mengerti kalau saat ini dia harus menahan diri. Bu Romlah tahu, saat ini Nur butuh sendiri.
Semalam, Nur tidak bisa memejamkan mata. Sebagian waktunya digunakan untuk menangis. Dia berusaha melawan rasa putus asa yang mulai menghinggapinya. Dia ingin tetap bangkit. Berjuang demi ibunya hingga takdir itu berubah.
Nur meninggalkan rumah saat gelap masih menyelimuti bumi. Dia mengayuh sepeda perasaan lega. Setelah menangis, Nur merasa semangatnya kembali menyala. Dia sudah memikirkan hal terbaik yang akan dilakukannya.
Sepulang bekerja, Nur tidak langsung pulang ke rumah. Dia melajukan kendaraannya menuju 'Kios Bersama’.
Mami terkejut mendapati kehadiran Nur yang terlalu cepat. Saat mata cekung itu terbelalak. Nur langsung angkat bicara.
“Mami dandani saya secantik mungkin dan berikan saya pakaian yang paling bagus. Hari ini saya akan bekerja sungguh-sungguh.”
Mami makin kaget mendengarkan ucapan Nur.
“Saya sungguh-sungguh. Hari ini saya ingin pulang dengan banyak uang.” Nur berkata mantap. Dia tidak lagi ragu atau menunduk seperti pertama kali dia ke mari. Dia benar-benar menunjukkan kesungguhannya.
“Tapi, tempat karoke ini tidak dibuka sore hari.” Wanita yang masih menggunakan baju biasa itu menjelaskan.
Wajah Nur terlihat kecewa. Dia duduk di bangku panjang itu dengan lemas.
“Maaf, kan, Mami ya, Mami belum bisa membantu.” Wanita yang siang hari terlihat lebih tua itu mendekati Nur. Mengelus pundak Nur dengan lembut.
Saat Nur hendak beranjak. Telepon pintar di saku celana Mami berdering. Dia menjauhi Nur, berbicara sambil tertawa sesekali. Beberapa menit kemudian dia kembali, menahan pundak Nur yang sudah ingin pulang ke rumah.
“Oke. Kalau kamu bersungguh-sungguh.”
Mami langsung menyeret Nur ke kamarnya di lantai dua. Memoles wajah Nur dengan riasan terbaik. Memberikan Nur pakaian yang paling pendek dan ketat yang dia punya.
Nur menuruti apa saja yang diperintahkan Mami. Meskipun di sisi lain hatinya menangis. Bahkan dia terlihat tidak lagi canggung dan malu-malu.
“Sebentar, Mami hubungi Angel yang lain. Soalnya ada dua klien yang harus dilayani.” Mami meninggalkan Nur di depan cermin.
Nur mengamati wajahnya. Bertanya-tanya, kenapa para hidung belang itu lebih suka yang norak. Wajah yang dipoles sedemikian rupa agar terlihat putih dan memukau. Padahal menurut Nur, dirinya saat ini tidak cantik. Tidak menunjukkan diri yang sesungguhnya. Apakah karena buaya darat itu selalu hidup dalam kepura-puraan? Jadi dia senang pada kebohongan.
Nur menggeleng. Sungguh, kadang kehidupan ini memang rumit menurutnya.
“Kita ke bawah, yuk! Sebentar lagi ada yang jemput pakai mobil.”
Saat hendak menuruni tangga, Nur memegangi tangan gempal itu dan menyalaminya secara takzim.
“Terima kasih, Mami,” ujar Nur sambil tersenyum tipis. Ditahannya air mata yang siap-siap tumpah.
Mami mengangguk. “Aku salut sama kamu, Nak. Belum ada anak yang rela berkorban sedemikian rupa untuk ibunya.” Mami menangis memeluk Nur. “Fee kamu hari ini, untuk kamu semua. Hanya itu yang bisa Mami berikan.”
Entah mengapa wanita tanpa keluarga itu merasa benar-benar tersentuh. Bahkan jauh di lubuk hatinya, dia merasa ingin berubah menjadi orang yang lebih baik. Mempunyai keluarga dan hidup secara normal.
“Karena kamu masih perawan, orang yang pertama kali menggunakanmu harus berani bayar empat sampai lima juta,” kata Mami sambil menghapus air matanya. Lalu keduanya segera turun ke bawah.
Nur diminta menunggu di ruangan Mami. Meskipun dadanya berdetak lebih cepat dan tubuhnya berkeringat dingin. Nur berusaha tidak menghiraukan. Dia mengalihkan perasaan groginya dengan berlatih hal-hal yang dikatakan Mami. Seperti bersikap ramah, tersenyum, dan terus mendekatkan tubuh ke klien. Ini sebuah pelayanan yang bikin laki-laki mabuk syahwat itu betah. Pesan lagi dan lagi.
“Ingat, Nur. Rule-nya hanya dua jam. Kalau dia minta lebih lama, suruh klien hubungi Mami dulu. Kalian mainnya di hotel dekat sini, jadi Mami akan mudah mengontrol. Pilnya sudah diminum?” tanya Mami tegas.
Nur mengangguk.
“Oke. Sebentar lagi Angel yang satunya akan datang. Nanti Mami minta dia untuk dampingi kamu. Kamar kalian akan dibuat berseberangan.”
Orang yang ditunggu telah tiba. Mata Nur terbelalak menyaksikan Angel yang baru saja datang.
“Nur?” Wanita yang baru saja tiba, tampak sama terkejutnya dengan Nur.
“Kalian saling kenal?” Mami juga ikutan kaget, tidak menyangka kalau Sisil dan Nur saling mengenal.
“Bentar, Mi.” Sisil yang terlihat lebih cantik dari biasanya, menarik tangan Nur keluar ruangan.
“Nur, ngape kawu di sini?” tanya Sisil setelah mereka duduk saling berhadapan di sofa ruang karoke.
Nur tidak menjawab. Dia  hanya menunduk.
“Nur, kawu harus balek. Ini bukan tempat kawu. Dunie ini terlalu bahaya, Nur. Sekali kawu masok, kawu tidak akan pernah bise keluar.”
“Aku butuh duet, Sil. Aku maok Emak bise ke tanah suci.” Akhirnya Nur berani menatap wajah sahabatnya.
Sisil yang terlihat lebih seksi dengan balutan gaun koktail di atas lutut dengan dada terbuka, langsung mengangkat wajah sahabatnya. Dia terlihat benar-benar serius, tidak seperti biasanya yang penuh dengan canda.
“Dengar, Nur, kawu maok bawak Emak kawu ke tanah suci. Suci, Nur, suci.” Sisil menjeda pembicaraannya. “Mane boleh pakai duet haram. Bede dengan aku ....” Air mata Sisil mengalir. Nur yang tadi menunduk, kini terlihat fokus menatap sahabatnya.
“Aku ini anak buangan, Nur. Emak, Bapak aku tadak peduli same aku. Mereka semue sibok kerje. Di sinilah tempat aku dapat kasih sayang. Hanye Mami dan kawan-kawan di sini yang peduli same aku. Cuma laki-laki yang aku kawankan yang bise beri aku kasih sayang.”
Keduanya terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Sekarang, kawu balek, Nur!” Sisil berdiri dan menarik tangan Nurr tidak bergerak. Dia tetap pada pendiriannya.
“Nur, kawu terlalu polos ontok ade di sini. Kawu maseh suci, Nur.” Sisil duduk di lantai dengan posisi bersimpuh. “Aku mohon, Nur. Semue kerje aku malam ini ontok kawu. Tapi, Sisil mohon, jangan ke sini agik.”
Nur akhirnya luluh. Dia mengikuti langkah teman baiknya dengan perasaan yang tidak dia mengerti.

Ide GilaWhere stories live. Discover now