Bab 4

7 2 1
                                    

Sebulan berlalu, Nur memutuskan menghitung jumlah uang simpanannya. Dia akan mengevaluasi kinerja kerasnya selama 30 hari ini.

Bismillah, Lirihnya sambil membuka kotak celengan plastik yang berbentuk tabung. Dikeluarkannya uang lembaran 50, 20, dan 10. Kemudian, ditumpuk menjadi 100.000 setiap bagian kelompok. Setelah selesai, barulah dia menghitung jumlah keseluruhannya.

Nur tampak sedikit kecewa dengan hasil yang diperoleh. Wajah yang tadinya bersemangat, kini tampak sendu. Dia membuang napasnya kasar. Berpikir sejenak hingga alisnya tampak saling terpaut.

Terlalu kecil, keluhnya. Uang yang ada di tabungan ditambah gaji, totalnya hanya 2.550.000. Artinya, Nur butuh waktu sepuluh bulan untuk memberangkatkan ibunya ke tanah suci. Bagi Nur, masa itu terlalu lama. Dia ingin Emaknya segera berangkat dalam waktu dekat.

Dia harus bekerja lebih keras. Melewati ambang batas yang dilakukan orang-orang pada umumnya. Dia bertekad akan menghasilkan uang lebih dari 1.050.000. per bulan.

Nur kembali merenung. Memaksa otaknya untuk berpikir cara menghasilkan uang lebih banyak. Hingga terbit senyum di wajahnya.

Nur kembali bergerilya, menambah jenis dan jumlah dagangannya. Memotong waktu tidurnya lebih singkat. Malam digunakan untuk membuat aneka kue dan makanan berat, siang digunakan untuk menjual tenaganya di pasar. Kehadiran Emak dalam setiap kondisi, membuat Nur tambah semangat dan terbantu beban kerjanya.

“Kenapa kau tampak begitu sibuk mengumpulkan uang, Nur?” Mak Leha yang baru saja tiba langsung mengintimidasi Nur yang akan berangkat kerja dengan banyak bawaan.

Gadis itu hanya menunduk.

“Kenapa kamu tidak memikirkan dirimu sendiri. Bukankah umurmu tidak lagi muda?” Suara itu terdengar tenang, tapi tetap menohok di jantung Nur.

Demi menghormati saudara ibunya, Nur akhirnya membuka mulut. “Iya, Mak Leha. Insya Allah, saya akan tetap berikhtiar. Tapi, semuanya kembali pada takdir Allah kembali.”

“Bagaimana jodoh akan datang kalau kamu hanya sibuk mencari uang, Nur."

“Insya Allah, semua akan datang pada waktu yang tepat, Mak.” Lalu dia bergegas menyalami wanita yang tubuhnya tampak lebih terawat dan berisi. Tidak seperti ibunya yang cenderung lebih kurus dan dekil.

Sesampainya di pasar, Nur kembali mengencangkan usahanya. Dia tidak peduli dengan saran yang diberikan tetangga sekaligus keluarga dekatnya. Tujuan utamanya saat ini, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Bahkan dia membiarkan kulit hitamnya semakin legam karena terpanggang sinar matahari.

“Nur, Emakmu.” Suara dari dalam telepon terdengar panik.

“Emak kenapa, Mak Leha?” Nur juga ikutan panik. Tidak biasanya perempuan tanpa anak itu menghubunginya saat jam-jam kerja seperti ini. Jika Mak Leha punya keperluan, dia akan datang ke rumah Nur, atau dia akan berpesan pada ibunya Nur agar menyuruh Nur ke rumahnya.

“Makmu sesak napas, Nur.” Suara di seberang sana terdengar riuh. Mungkin sudah ada beberapa tetangga yang ikut menjenguk. Tradisi perkampungan Bentang masih terbilang tradisional. Jadi, antara tetangga satu dan yang lainnya masih seperti keluarga.

“Nur, Emakmu pingsan.”

Sambungan itu terputus. Membuat Nur yang sedang berdiri di depan toko bimbang.

“Ce, saya boleh izin pulang? Emak saya sakit.”

“Pulanglah! Nanti Mak kamu kenapa-napa.”

Kepribadian Nur yang disiplin dan tidak pernah absen membuat majikannya sangat menghormati keputusan Nur.

Nur bergegas mengayuh sepedanya. Benaknya tiba-tiba dipenuhi banyak prasangka buruk. Setelah menelepon Mak Leha dan mengetahui kalau ibunya dibawa ke rumah sakit, pikiran itu seolah-olah tidak bisa terkendalikan.

Nur menangis sepanjang jalan. Bagaimana kalau dia tidak bisa memenuhi impian ibunya? Bagaimana kalau pagi tadi adalah pertemuan terakhir dengan ibunya? Pertanyaan terus bermunculan di otaknya. Memacu adrenalin dan membuatnya mengayuh sepeda lebih cepat. Bahkan saking tidak fokusnya, Nur hampir menabrak kendaraan yang ada di depannya. Untung, Allah masih menyelamatkannya.

“Dok, Emak saya kenapa?” Nur datang tepat di saat perempuan berjas putih itu keluar dari UGD.

“Ibumu tidak apa-apa. Dia hanya kelelahan.”

“Alhamdulillah, terima kasih, Dok.” Ada nada kelegaan di sana. Namun, dia tidak bisa menutupi rasa cemas yang masih menghinggapinya.

“Untuk saat ini, Bu Romlah harus banyak istirahat dan mengonsumsi makanan yang sehat. Sebab, penyakit asma pada orang tua lebih rentan dan sensitif. Imunnya akan menurun, jadi akan sangat mudah terserang penyakit.”

Nur mengangguk sambil mencoba memberikan senyuman yang terbaik. Meskipun hatinya dilanda kegelisahan. Otaknya terus bekerja, berpikir banyak hal.

Sesampainya di rumah—Bu Romlah yang memang tidak suka rumah sakit memaksa untuk dibawa pulang--Nur langsung melayani ibunya. Menyiapkan makanan dengan nutrisi terbaik. Mengemas rumah dan menyiapkan segala kebutuhan ibunya.

“Kamu tidak buat nasi kuning dan kue untuk besok, Nur?” wanita di atas kasur itu bertanya dengan wajah tidak enak hati. Apalagi dia tahu Nur hari ini pulang lebih awal.

“Nanti saja, Mak. Sekarang yang terpenting Emak sembuh. Sekarang Emak makan dulu, habis itu baru minum obat dan istirahat.”

Setelah semua selesai, Nur mengurung dirinya di dalam kamar. Mencoba menyelesaikan banyak permasalahan yang bersarang di otaknya. Menganalisis setiap kejadian yang baru saja menimpanya. Kali ini, perhitungannya harus tepat.

Menimbang banyak hal, Nur memutuskan untuk tidak lagi menjalankan rencana yang selama ini dikerjakan. Selain karena hasilnya tidak memuaskan, kondisi ibunya yang sakit-sakitan tentu membutuhkan perhatian khusus. Belum lagi watak ibunya yang tidak bisa diam. Melakukan banyak pekerjaan di dalam rumah, tentu akan membuat wanita tua itu  ikut berlelah-lelah.

Nur menggeleng-gelengkan kepalanya dengan mata tertutup. Seolah-olah semua jalan terlihat buntu. Hingga tanpa sadar tubuh yang menggigil itu terlelap dalam tenangnya malam.

Ide GilaWhere stories live. Discover now