Delapan: Penyangkalan

174 17 0
                                    

"Ada kalanyakita menolak sebuah fakta hanya karena tidak menginginkannya semakin terasanyata. Padahal, disangkal seperti apa pun, takkan membuat keadaan serta-mertamembaik."

"Besok mau konsul lagi kan? Aku temanin, ya," tawar Ria pada sahabatnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Besok mau konsul lagi kan? Aku temanin, ya," tawar Ria pada sahabatnya.

"Kamu kan sibuk, aku bisa kok sendirian."

"Besok aku nggak sibuk, kok. Kita bisa jalan-jalan dulu, mutar Pontianak atau ketemu teman kuliah. Kalau kamu mau kita berlama-lama di mall kayak waktu kuliah juga boleh. Kangen juga rasanya duduk berjam-jam di Hoshi Tei sambil ngejar deadline tugas kuliah."

Obrolan sepasang sahabat kental itu pun bergulir ke masa-masa kuliah yang membuat terbahak. Ada banyak kejadian lucu dan konyol yang sering mereka lakukan bersama, salah satunya memutari mall sambil makan es krim yang terkadang membuat anak kecil iri karena mereka sengaja memakannya dengan penuh nikmat.

Pernah suatu ketika ada anak perempuan yang akhirnya menarik baju ibunya sampai memberikan perhatian dan menunjuk-nunjuk mereka. Dia dan Ria yakin bahwa anak tersebut memaksa ibunya untuk membelikan es krim yang sama.

"Kamu tuh, makannya sengaja dibikin enak banget sampai dia iri," sembur Fia pada gadis dengan bentuk mata turun itu.

"Jak same juak!*" ledek Ria balik.

Keesokannya mereka berangkat pagi karena pelayanan rumah sakit buka pukul delapan. Pukul lima, Ria sudah melajukan mobil Fia menuju Pontianak. Dia menyarankan sahabatnya untuk tidur agar tidak lelah mengantri di poli.

"Aku sebenarnya heran, kenapa kamu harus jauh-jauh ke sini."

"Lebih nyaman aja, Ri. Di Pontianak kan, kenalan paling teman kuliah, nggak ada keluarga atau kenalan Mama-Papa. Aku nggak bisa bayangin respons Papa kalau tahu aku ke rumah sakit jiwa."

Sedikit banyak Ria paham mengenai kondisi keluarga Fia karena kedekatan selama kuliah membuat mereka sering saling curhat. Sahabatnya itu pintar, hamper tiap semester namanya masuk dalam jajaran siswa berprestasi yang diumumkan sebelum pembagian rapor. Namun, semua itu masih membuat ayahnya merasa tidak cukup. Bagi Papa Jody, Fia siswa terbaik atau dia gagal.

Ria melirik sahabatnya yang kembali mencoba terlelap. Fia berbaring di kursi penumpang yang sandarannya sudah direndahkan sambil memeluk boneka Xiumin yang diambilnya dari Minseok-ui Bang. Sesungguhnya, dia merasa kasihan pada Fia. Sahabatnya itu selalu diharapkan untuk menjadi sempurna sejak kecil, terutama di bidang akademis. Untuk itu, dari kecil Fia sudah berkutat dengan macam-macam les agar nilainya sempurna. Kecukupan ekonomi tentu saja membuat ayahnya mampu memenuhi kebutuhan anak semata wayang, dari kebutuhan sekolah hingga fasilitas belajar. Bahkan, rumahnya termasuk jajaran pertama pemasang jaringan nirkabel di saat internet mulai memegang peranan penting dalam mendukung proses belajar di sekolah.

"Fi, udah sampai nih. Yuk, turun."

Ajakan Ria membangunkan Fia. Dia menyisir rambut dengan tangan dan memastikan riasannya tidak rusak dikarenakan sempat tertidur selama perjalanan. Sebelum keluar, Fia menyempatkan menggenggam tangan sahabatnya yang dibalas tepukan di punggung tangan. Padahal, ini bukan pertama kalinya, tetapi Fia selalu saja gugup dan panas dingin setiap akan menginjakkan kaki ke Sungai Bangkong.

Fanwifing [TAMAT]Where stories live. Discover now