Part 2: New Trouble Maker

168K 10.7K 152
                                    

Pagi hari datang, aku bersyukur ini hari minggu. Aku tak perlu bersusah payah memikirkan masalah sekolah, menghitung detik demi detik yang harus kulewati melawan bosan dengan kesabaran luar biasa. Sebuah senyum yang tak dapat kutahan merekah di wajahku, aku selalu mencintai minggu pertama di awal bulan, hari dimana aku bisa mendapatkan setidaknya sepenggal kebebasanku. Walaupun arti dari kebebasan itu hanya sebatas sebuah perpustakan kota di persimpangan jalan El Capitol, aku tetap tak bisa menolak sensasi menyenangkan yang terus menyerbu tubuhku. Secepat kilat tanganku mengambil jaket kulit yang menggantung di balik pintu kamar.

Dengan hati-hati aku membawa kakiku keluar kamar, lalu menuruni tangga. Namun saat kakiku hampir melintasi ruang makan, aku berusaha sebisa mungkin meredam suara langkahku, karena aku tahu Mom ada di sana dan jika Mom melihatku ia akan menyuruhku bergabung bersamanya untuk melewati ritualnya yang sama setiap hari, yakni sarapan.

Saat kurasa aku telah berhasil melewati ambang pintu dan bisa berhenti menahan nafas aku hampir tersandung kakiku sendiri karena teriakan yang berasal dari ruang makan, tempat Mom berada. "Raylah Young, kau melewatkan sarapanmu!" Yang kulakukan hanya mendengus pasrah meratapi nasib sambil berjalan ke ruang makan. Salah satu kehebatan Mom, ia selalu berhasil mencegahku untuk kabur dari situasi yang ingin kuhindari. Membuat minggu pagi cerahku yang harusnya kuhabiskan dengan menyelami beberapa buku yang belum kubaca kini aku akan merelakannya dengan Mom beserta sarapannya yang mungkin saja telah hangus.

Aku beringsut di kursiku dengan malas. Mom duduk di depanku, menatapku dengan senyum indah yang hanya bisa ia tunjukkan padaku saja. Ia selalu punya stok aura seperti itu, yang bisa membuat siapapun tersenyum, berbeda sekali denganku yang terlihat seperti gadis tanpa semangat di usia belia.

"Mom ini minggu pagi, tidak ada satu gadis pun di kota ini yang sarapan dengan..." menatap ke tempat sarapanku berada, aku tidak yakin makanan jenis apa yang sedang kutatap. Dan kukira pagi ini aku tidak ingin menyinggung apapun tentang masakannya. Menghirup nafas perlahan, "Lagi pula aku tidak lapar, aku harus ke perpustakaan." Kataku dengan malas. Mom mengacuhkanku dan memulai menyantap sarapannya.

"Biar kutebak, Mom pasti sudah mengorbankan puluhan telur untuk omelet yang tidak hangus ini." Aku menunjuk piringku dengan ujung garpu. Harus kuakui ini adalah sebuah keajaiban, masakan Mom tidak hangus seperti biasanya, hanya saja bentuknya sedikit tidak sempurna.

"Kau menghinaku, nak." Jawabnya diselingi tawa. "Ini lebih baik daripada mie instan."

"Maksud Mom mungkin, ini lebih baik daripada kemarin," aku menyendokkan sepotong dalam mulutku. "Perlu kuingatkan, kemarin kita hanya makan mie instan." Sambungku. Dan dengan itu Mom tertawa di sela-sela suapannya. Bukan maksud tidak menghargai kerja kerasnya, tapi jujur saja aku merindukan kehidupan seperti dulu. Saat Dad masih bersama kami.

Setelah Dad pergi, bisa dibilang kehidupan ekonomi kami memburuk dan semakin memburuk, dan Mom harus memenuhi kebutuhan hidup kami dan bekerja paruh waktu di sebuah toko percetakkan. Aku sempat mengajukan diri untuk membantunya, tapi Mom memarahiku habis-habisan setelah mendengarnya. Aku tak mengerti apa sebab ia sangat marah waktu itu, mungkin saat itu aku menyinggung perasaannya sebagai orang tua. Tapi aku sudah tak tahan melihat tumpukan surat tagihan yang menumpuk di meja ruang tamu kami, itu benar-benar mengesalkan.

"Apa Mom memasukkan merica terlalu banyak ke dalam omeletnya?" Kuamati omelet yang rasanya sedikit berbeda dari yang pernah kumakan.

"Tidak, apa ada sesuatu yang aneh?" Tanyanya setelah tenggorokannya berhasil menelan sepotong omelet.

Garpuku menusuk-nusuk omelet didepannku secara acak membuat bentuknya agak terkoyak, mataku memicing mengamatinya. "Ya, rasa omeletnya jadi sedikit aneh seperti kurang matang."

THE NEPHILIMWhere stories live. Discover now