BAB 5: KLIEN DARI MANINJAU

7 0 0
                                    

"Keren banget, Mbak," Wawan terpana dengan model karakter permainan yang dimainkan Sharla—yang baru ia beli dengan harga ratusan ribu Rupiah. Ia sendiri masih belum selesai terpana dengan komputer baru yang dibeli oleh Sharla.

"Yoi," Sharla bangga, meskipun ia masih kesal karena kalah tanding dalam permainan Defense of the Artifact 3. Ternyata komputer bagus tidak dapat membantu Sharla bermain lebih baik.

"Aku masih nggak nyangka kamu pinter nge-build PC ya. Layar 16k, VRAM 24Gb, RAM 128Gb, CPU 4GHz, liquid coolant, RGB... keren, keren. Framerate sampe 144 fps," bahas Herman, "Tapi tetep aja, aku masih kesel."

"Kenapa kesel?" tanya Sharla yang menutup permainannya, dan mulai bermain permainan lain.

"Karena kamu make PC secanggih ini buat main solitaire."

"Suka-suka aku dong," Sharla tak acuh dan lanjut main solitaire.

Herman memutar mata lalu menatap Wawan, "Lu kalo buang-buang duit jangan kayak istri gua ya. Duit dari Pak Agung masih ada kan?"

Wawan terkekeh, "Udah abis, Bang."

"Gimana?!" Herman kaget.

Kekehan Wawan semakin kikuk, "Ya, gimana ya, Bang?"

Herman secara agresif menggaruk kepalanya, "Lu in total dapet 250 juta! Terus lu bilang duitnya udah abis?!"

"Iya, Bang," Wawan memasang senyum tanpa dosa.

"Lu ke manain?! Baru tiga bulan, jir!"

Wawan terdiam, namun masih tersenyum. Herman masih menagih jawaban, dan akhirnya Wawan bercerita, "Jadi gini, Bang: gua ada adek kembar. Bulan lalu baru mau mulai kuliah mereka. Aslinya emang mau dibayarin ama ortu sih, Bang. Tapi gua maju aja, mau bayarin. Buat ngeringanin beban lah, Bang, soalnya kuliah adek-adek gua rada mahal."

Kini Herman yang terdiam. Ia memastikan, "Jadi duitnya lu pake buat bayarin adek-adeklu kuliah?"

"Iya, Bang," senyum Wawan sambil tersipu.

"Aw, kakak yang baik banget lu ya," Sharla meleleh; "Jadi adeklu kembar?"

"Iya, Mbak," kekeh Wawan masih merah tersipu.

"Namanya siapa?" suara Sharla masih tinggi dan diringankan senyum.

"Nina sama Ninet, Mbak. Cewek dua-duanya," Wawan menjelaskan; "Yang satu masuk hukum, yang satu lagi masuk psikologi."

"Ih! Lucu banget! Gua ada adek tingkat dong ya," Sharla bersemangat; "Kuliahnya di mana mereka?"

Wawan seperti menghindar, "Ada lah, Mbak. Di Jakarta; universitas swasta. Makanya rada mahal. Maklum lah ya, masuk negeri rada susah."

"Nggak apa-apa banget, kok, Wan. Yang penting mereka bisa kuliah," senyum Sharla; "Noh! Kayak Wawan dong, Beb! Dermawan!"

Herman tegertak, "Lah kok?! Aku kan anak tunggal!"

"Kasian, deh! Nggak punya saudara! Makanya autis," ejek Sharla, yang benar-benar tidak seperti seorang psikolog.

Herman menggerutu. "Ya masa aku minta adek ke ortu aku sekarang."

"Bang Herman anak tunggal?" tanya Wawan membanting topik.

"Iya," jawab Herman cepat.

"Lu mau, Wan, ada lagi orang kayak Herman? Nggak bersyukur lu Herman cuma ada satu?" kekeh Sharla.

"Bangsat," ujar Herman dalam hati.

Wawan tersenyum, "Lucu aja, gitu, Mbak. Gua kira Bang Herman punya saudara. Mbak Sharla punya saudara?"

PARA PENAKLUK HANTUWhere stories live. Discover now