BAB 3: WAWAN BERAKSI

45 3 2
                                    

Hari ini adalah hari pertama Wawan bekerja bersama Herman dan Sharla. Ia duduk manis di kursi penumpang depan, berseberangan dengan Herman yang menyetir. Sharla memainkan gawainya di kursi belakang.

Ketika Herman merasa lokasi klien sudah dekat, ia menjelaskan kepada Wawan, "Jadi gini, Wan. Lu udah gua ajarin cara pake spektroskop. Jadi, spektroskop lu yang pegang. Gua arahin entar make spektroskopnya di mana aja. Kamera lu juga, ya, yang pasang. Nanti gua arahin juga pasang di mana. Seismograf gua aja yang pake."

"Oke, Bang," Wawan tetap bingung.

Ketika tiga berandal itu tiba di tempat yang disetujui, mereka turun dan melihat rumah klien mereka. Hal pertama yang disadari oleh Herman adalah keadaan rumah tersebut yang jauh dari kata angker. Herman menjadi agak bingung, "Rumahnya keliatan fine-fine aja kok. Kenapa masih manggil kita?"

Sharla menyahut, "Paling penghuninya yang nggak fine-fine aja."

Herman mengangguk, "Mungkin. Yuk, turun."

Ketika mereka turun, mereka disambut oleh seorang laki-laki paruh baya. Mereka dituntun untuk masuk ke ruang tamu dan berdiskusi di sana. Setelah berjabat tangan dan basa-basi, sang lelaki paruh baya mulai menceritakan keluhannya.

"Jadi sebelumnya saya perkenalkan diri. Saya Rahmat, ketua RT di sini. Sebenarnya saya memanggil Anda-Anda sekalian bukan untuk mengusir penunggu di rumah saya. Saya rasa rumah saya tidak ada penunggu. Kalau ada, penunggunya sama sekali tidak mengganggu."

Sharla dan Herman tertawa formal. Wawan ikut tertawa kikuk. Pak Rahmat melanjutkan, "Jadi dekat dari sini, ada rumah tak berpenghuni. Sudah ditinggalkan puluhan tahun. Banyak warga yang mengeluh soal rumah tersebut."

Herman langsung mengerti. Sharla pun demikian. Mereka merumuskan beberapa kemungkinan mengenai rumah tersebut di dalam kepala mereka. Namun Sharla merasa perlu bertanya, "Maksud Bapak bagaimana?"

"Sepertinya penunggu rumah tersebut tidak senang dengan kampung kami. Banyak kejadian aneh di rumah tersebut. Warga sering mendengar yang tidak-tidak di sana. Beberapa juga mengaku pernah melihat yang tidak-tidak juga," Rahmat menjelaskan.

"Seperti apa, misalnya, Pak?" Sharla bertanya lagi.

"Banyak, Mbak. Ada yang mengaku pernah melihat kuntilanak, atau mendengar suaranya. Ada juga yang melapor bahwa ada genderuwo."

Herman mengangguk. Dalam kepalanya, ia menggagaskan bahwa masalahnya mungkin bukan pada rumah tersebut, namun warga sekitar. Dalam waktu yang bersamaan, Sharla menggagaskan dalam kepalanya bahwa warga sekitar tidak mungkin secara bersamaan mempunyai masalah psikologis. Mungkin laporan yang didaparkan oleh Pak Rahmat berasal dari satu-dua warga yang mudah tersugesti. Wawan sendiri berpikir soal lima ratus ribu Rupiah yang baru saja ia dapatkan hanya dengan ikut Herman dan Sharla ke kampung aneh ini.

Setelah berbincang-bincang, Rahmat mengantar ketiga pemburu hantu tersebut ke lokasi angker di kampungnya. Herman menyadari beberapa hal dari rumah angker yang ia lihat. Pertama adalah kondisi rumah tersebut yang sudah sangat bobrok, kedua adalah lebatnya vegetasi di rumah tersebut, dan ketiga adalah luasnya pelataran rumah tersebut.

Herman segera menyuruh Wawan untuk mengeluarkan berbagai alat pemburu hantu dari bagasi mobil. Sharla sendiri berbincang-bincang lebih lanjut dengan Rahmat di luar rumah angker.

Ketika Wawan sudah berbekal senapan spektroskop dan sekantung kamera, ia merasa enggan memasuki kawasan angker yang ia hadapi. Herman dengan petantang-petenteng membuka pagar karatan rumah tersebut dan masuk membawa seismograf.

Herman menyadari sesuatu: sebelum ia membuka pagar berkarat tadi, ia dapat mencium bau karat. Hal itu aneh bagi Herman, karena karat seharusnya tidak punya bau. Karat hanya punya bau jika karat itu sebelumnya berinteraksi dengan minyak keringat manusia. Bahkan sebelum memasuki rumah angker tersebut, Herman sudah tahu bahwa rumah itu sempat dikunjungi orang beberapa waktu lalu.

PARA PENAKLUK HANTUWhere stories live. Discover now