BAB 2: LIMA TAHUN YANG LALU

71 7 2
                                    

Herman berada di rukonya, di lantai dua. Ia sedang membawa Wawan, asisten barunya dalam perihal pembasmian hantu—dan juga barista baru untuk kafenya. Ia memperlihatkan berbagai alat-alat di dalam ruangan kerjanya.

"Yang kayak bazooka ini namanya spektroskop," mulai Herman.

"Spektol...?" Wawan tak dapat melafal.

"Spek-tro-skop," bantu Herman. Wawan hanya memasang wajah berkerut. Herman melanjutkan, "Ini gua buat sendiri, make konsep XPS."

"XPS?"

"X-Ray Photoelectron Spectroscopy," ujar Herman yang langsung disambut wajah bingung Wawan; "Intinya, alat ini ngedeteksi partikel di permukaan benda. Nah, liat: di sini ada cetekan. Cetekannya buat ganti jangkauan sensitivitas detektor, dari partikel yang ada di permukaan benda, sampe partikel yang ada di udara. Alatnya udah gua setel biar nggak ngedeteksi partikel udara biasa. Jadi, partikel udara kayak nitrogen, oksigen, sama karbon dioksida nggak bakal dideteksi."

Wawan hanya melongo. Herman melanjutkan, "Fungsi ini alat tuh buat nemuin partikel yang nggak biasa. Misalnya kayak karbon monoksida, belerang, atau karbon aromatik."

"Oke," ujar Wawan ragu, sembari mengingat kembali pelajaran kimia SMA. Sayangnya, ia dulu adalah siswa IPS. Sehingga, ia hanya dapat ingat keluh-kesah teman-teman siswa IPA-nya ketika menjelang ujian kimia.

Herman mengangkat senyumnya, "Kadang bisa aja ada alkaloid, Wan. Misalnya psikedelik, yang bisa buat lu halusinasi. Itu bisa jadi tanda kalo ada jamur ato lumut di permukaan bendanya."

Wawan kebingungan, tapi berusaha mengikuti. Herman melanjutkan, "Nah, kadang ini bazooka nggak bisa deteksi semua partikel udara, Wan. Jadi kalo mau lebih lengkap, lu bisa pake masker ini."

Wawan melihat masker gas yang biasa ia lihat di permainan tembak-tembakan. Ia melongo. Herman tak dapat berhenti tersenyum, "Masker ini punya saringan buat ngumpulin partikulat atau aerosol. Yang kayak asep gitu, Wan. Kadang malah bisa ada merkuri, timbal, atau partikulat yang nggak-nggak. Dia juga ngedeteksi konsentrasi partikulatnya. Nah, tadi kan spektroskop gua nggak disetel buat deteksi partikel udara biasa. Tapi maskernya masih bisa. Jadi kalo ada oksigen kebanyakan, dia yang bakal tau lebih dulu."

Herman memperlihatkan alat besar berbentuk koper, "Kalo yang ini namanya seismograf."

Wawan berusaha melafal, "Sesame stree..."

"Seis-mo-graf," bantu Herman; "Ini barang berisik banget kalo nyala, jadi nggak bakal gua nyalain di sini. Konsepnya kayak sonar. Buat deteksi topologi TKP. Biasanya buat nemuin rongga bawah tanah. Misalnya kayak basement ato terowongan buatan binatang. Kadang bisa buat ngeliat komposisi tanah juga, tergantung pantulan gelombang dari tanahnya. Lokasi TKP bisa aja sering kena gempa mikro, ato komposisi tanahnya gampang nyalurin suara. Nah, kalo bener tanahnya gampang nyalurin suara, bisa aja TKP sering kena infrasound. Itu infrasound bisa jadi biangnya halusinasi."

"Hah, gimana, Bang?" Wawan tak cepat menangkap.

Herman menghembuskan napas, "Infrasound tuh suara yang nggak bisa lu denger. Kuping lu nggak bisa nangkep ini suara. Tapi suara kan intinya getaran, ya. Jadi bisa aja ini infrasound ngegeterin badan lu. Mata lu bisa geter-geter, jadi halusinasi visual deh. Ato bisa aja nyalain insting fight-or-flight, jadi lu tiba-tiba deg-degan."

"Oh," ujar Wawan panjang-panjang, pura-pura mengerti.

Herman memlanjutkan, "Biasanya sih gua nggak bawa seismograf. Cuma bawa kalo lokasi TKP deket rel kereta, tanah TKP dilapisin beton, atau kalo klien mesen paket lengkap. Kadang kalo gua udah curiga duluan, gua bawa buat jaga-jaga."

PARA PENAKLUK HANTUWhere stories live. Discover now