Bab 1: PARA PEMBURU HANTU

166 12 4
                                    

Ibu Syahrani melihat mereka berdua. Sepasang suami-istri. Si suami memakai baju kemeja polo biru dan celana kargo hijau lumut. Si istri memakai jaket blazer hitam dengan kemeja biru muda berenda, dengan kaca mata tebal tanpa bingkai. Si suami layak bapak-bapak yang berkecimpung di dunia MLM, dan si istri seperti teller bank. Tampang mereka berdua tidak meyakinkan bagi Ibu Syahrani. Mereka berdua tidak seperti "orang pintar" yang diagung-agungkan tetangga.

Ibu Syahrani agak ragu, namun ia mulai bercerita, "Gini, Mas, Bu. Saya bukannya apa-apa, tapi saya dengar Mas sama Ibu tuh orang pintar. Bisa ngatasi masalah... masalah mistis."

"Jadi, masalah Ibu apa?" tanya si suami.

"Ini jadi masalah yang sudah lama dialami keluarga saya. Rumah ini warisan dari kakek saya. Sudah diperingatkan sama beliau kalo ini rumah ada penunggunya. Jadi rumah ini nggak boleh diobrak-abrik, terutama lukisan Nyi Roro Kidul di ruang tengah."

"Lukisan Nyi Roro Kidul?" tanya si suami sekali lagi.

"Iya, Mas. Warisan keluarga. Sudah dipasang di rumah ini sejak jaman kakek saya. Kata beliau, itu lukisan adalah sesembahan, penghormatan kepada si Nyi. Sudah dua tahun keluarga kami di sini, kami rasanya nggak diterima sama si Nyi. Sering ada... kejadian lah."

Si istri bergumam mengiyakan.

"Kalau lama-lama di ruang tengah, saya sering pusing. Anak saya malah kadang bisa ngelihat si Nyi, katanya, kalau malam-malam. Suami saya juga jadi sering stress, marah-marah terus. Padahal sebelum pindah ke sini, suami saya nggak begitu. Katanya lukisan Nyi itu perlu dipindahkan ke gudang. Tapi saya nggak mau, takutnya Nyi semakin marah."

"Yang pernah melihat sosok Nyi ini, anak ibu saja?" tanya si istri.

"Suami saya juga pernah, katanya. Saya sendiri belum, tapi saya sering resah kalau lama-lama di ruang tengah. Apalagi kalau ngeliat si Nyi. Rasanya si Nyi kurang senang ada saya di ruang tengah."

"Dan keluarga Ibu merasakan semuanya cuma di ruang tengah?" istri lanjut bertanya.

"Nggak cuman ruang tengah, Bu. Seisi rumah. Kadang anak saya suka ngeluh dia diikutin sampai ke kamar."

Sang istri menengok kepada sang suami. Sang suami balas menengok. Walau dalam diam, sepertinya mereka berdua mengerti satu sama lain. Sang istri lanjut berbicara dengan Ibu Syahrani.

"Boleh kami periksa rumah ini?"

"Oh, boleh, boleh. Silakan," Ibu Syahrani mengiyakan, dan ikut berdiri ketika sang suami-istri berdiri.

Si istri melanjutkan, "Suami saya mau ambil alat-alat dulu. Suami sama anak ada di rumah, Bu?"

Ibu Syahrani menggeleng, "Suami saya lagi kerja. Anak saya masih sekolah."

"Oke. Suami saya nanti mau periksa rumah Ibu. Ibu ngobrol aja sama saya di sini, ya."

Ibu Syahrani mengiyakan. Ia lanjut berbasa-basi dengan si istri. Tak lama, matanya menangkap kehadiran si suami dengan topeng aneh, dan alat besar yang menyerupai senjata api. Ia agak heran.

"Tenang, Bu. Suami saya nggak lagi megang senjata api. Itu alat pendeteksi," si istri menenangkan Ibu Syahrani.

"Deteksi apa ya, Bu?"

"Deteksi hantu," si istri tersenyum. Ibu Syahrani dengan kikuk ikut tersenyum juga.

Sementara itu, si suami berbaju polo membawa perlengkapannya: tutup kepala besar yang menyerupai masker gas, sebuah alat besar yang menyerupai senjata api, satu tas kecil yang dipenuhi kamera kecil yang bisa ditempel di dinding, serta alat besar beroda yang menyerupai koper. Ia berjalan menuju ruang tengah. Sesampainya di ruang tengah, ia menyalakan alat berodanya. Alat itu mengeluarkan bunyi nyaring layak generator listrik.

PARA PENAKLUK HANTUWhere stories live. Discover now