2

4.1K 346 17
                                    

Selamat membaca
*

*

Jangan lupa taburan bintang dan komennya, Bestie!!

***

ABE terburu-buru mengakhiri kegiatan di bandara. Hanya berpamitan singkat, tanpa adanya obrolan basa-basi bersama pilot senior, apa lagi bertingkah konyol demi tawa rekan awak kabinnya. Dia setengah berlari menuju mobil jemputan yang disiapkan Alby, mengabaikan keheranan orang-orang atas rutinitas tidak biasanya.

Di sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Atmadja, Abe tersadar dirinya bagaikan tentara yang nekat pergi perang tanpa latihan khusu. Namun, dia tidak bisa mengulur waktu dan mengambil risiko Kian menghilang lagi. Dia tidak berniat pulang lebih dulu dan mengganti seragam dengan pakaian yang lebih baik, membelikan makanan kesukaan Kian, apalagi menyusun rencana agar situasi di rumah Atmadja tidak terlalu canggung.

Bagi Abe yang terpenting adalah bertemu Kian dulu, sisanya bisa dipikirkan sambil jalan.

Dia tiba di rumah utama keluarga Atmadja sekitar pukul dua sore. Disambut wajah panik satpam saat membuka gerbang, kini ekspresi kebingungan dari kepala pengurus rumah yang menyambutnya.

Apa Om Ryan dan Tante Yohana menyebar selebaran wajahnya dengan tanda silang besar-besar ke semua pekerja di rumah? Seolah-olah, memberi tahu agar penghuni waspada akan kedatangan orang berbahaya.

"Waduh. Waduh ... Mas Abe datang," seru Bik Nem setengah berbisik, seakan takut bila suara beliau lebih tinggi satu oktaf saja akan mengganggu siapa pun yang ada di dalam.

Abe tersenyum masam, sembari mencuri pandangan ke balik punggung Bik Nem, siapa tahu salah satu anggota Atmadja muncul di area foyer. Kiandra, misalnya. Kalau menarik mundur ingatannya tentang hubungan baik antara dua keluarga, baru kali ini anggota keluarga Bagaskara tidak langsung diizinkan masuk kediaman Atmadja. Rasa getir makin menjadi, saat Bik Nem bergabung dengannya di teras, lalu menutup rapat pintu utama khas desain American Classic yang terbuat dari perpaduan ukiran hitam besi tempa dan kaca sebagai badan pintu.

Pergi saja, Mas Abe. Kira-kira begitu yang dia tangkap dari ekspresi wajah Bik Nem.

"Halo, Bik Nem. Lama, ya, kita nggak ketemu." Namun, Abe menolak menyerah. Dia harus masuk dan menemui Kian. Harus.

"Iya. Lah, Mas Abe kan sudah jarang main ke sini. Terakhir datang waktu ulang tahun Ibu, setahun lalu." Meski dibalut senyum keibuan yang sering Abe lihat sedari remaja, rasa sungkan sekaligus tidak sabar gagal disembunyikan Bik Nem.

"Ini mau main, tapi malah pintunya ditutup," kata Abe sembari memberi kode pada pintu di balik punggung beliau, dan tatapan memelas Bik Nem semakin menjadi-jadi. "Kenapa, Bik? Tante Hana ngelarang aku masuk, atau jangan-jangan Om Ryan ngancem potong gaji kalau Bibik izinin aku masuk ...."

Bik Nem menghela napas, disusul Abe beberapa detik setelahnya. Dia benar, menemui Kian bukan perkara mudah seperti dulu. Datang tanpa pemberitahuan pun bakal disambut senyum hangat dan pelukan kecil. Kalau ini medan perang, badannya sudah penuh luka tembak karena salah strategi.

"Anu, Mas. Bibik, tuh—" Bik Nem mengambil jeda, mengedarkan pandangan ke sembarang arah, dengan satu tangan menggaruk-garuk bagian bawah kuping kanan. Panik. "Gini—"

Alih-alih, berupaya mencerna kalimat terbata-bata Bik Nem, mata Abe justru terpaku kepada sosok yang muncul tiba-tiba dan berdiri di balik pintu. Tanpa disadari Bik Nem, Abe dan orang tersebut mengadu tatapan intens. Ketika badannya bergerak maju, yang di dalam buru-buru membuka satu sisi pintu, lalu menepuk bahu Bik Nem tanpa melepaskan adu pandang mereka.

Someone To Love (ver revisi Possessive Pilot)Where stories live. Discover now