OO. Altair Hexana

33.2K 1.9K 20
                                    

Familyship & brothership

.

17.00, mata tajam itu melirik jam yang terpampang di dinding ruang OSIS. Dia Altair Hexana, ketua OSIS SMA Adromaeda yang memiliki julukan 'Tuan Tanpa Cela', bukan karena apa dia dijuluki seperti itu. Altair itu baik, ramah, berwibawa, punya public speaking bagus, cerdas, suka mengeksplor hal yang baru, punya pemikiran luas dan tentunya tampan!. Banyak juga yang daftar OSIS hanya untuk bisa satu organisasi dengan Altair, tapi semua pupus karena Altair melakukan seleksi wawancara satu per satu ke calon kandidat OSIS.

Altair dibesarkan oleh neneknya yang bekerja di ladang, ibunya menjadi TKI ke Saudi Arabia untuk menunjang kehidupan Altair dan sang ibu, ayahnya? Jangan tanya lagi, lelaki itu mungkin sudah bahagia dengan keluarga barunya. Ayah dan ibu Altair berpisah saat usia Altair 15 tahun, ayahnya selingkuh dengan mantan pacarnya dulu sewaktu sekolah dan hal gilanya lagi, mantan pacar ayahnya itu juga sudah memiliki keluarga. Jadi ia bertekad dalam hatinya, jika ia menikah nantinya, ia tak akan menyia-nyiakan istri dan anaknya, ia tak mau anaknya nanti merasakan apa yang ia rasakan.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu mengalihkan pandangan Altair dari laptopnya.

"Masuk," ucap Altair menatap pintu. Setelah pintu terbuka muncullah pemuda yang sepantaran dengan Altair, Alkana Pramuna.

"Nih dokumen yang lo mau, di situ udah ada penjelasan berapa stand yang bakal di dirikan, macam-macam stand nya juga udah, oh! Sama tiap kelas bakal ngeluarain apa juga udah gue susun," jelas Alkana, ia adalah sekretaris OSIS. Orang yang dipilih langsung oleh Altair untuk menjabat.

Altair menatap dokumen-dokumen yang sudah disusun oleh Alkana dengan sangat rapi dan ringkas, kepalanya mengangguk puas, "Bagus, seperti yang gue harapin dari lo,"

Alkana tertawa, sahabatnya ini memang suka memuji seseorang ketika orang itu melakukan hal yang membuatnya tertarik, contohnya orang yang cekatan, punya pemikiran yang matang, tanggung jawab dan tegas dalam mengambil keputusan.

"Waduh jadi malu dipuji ketos," ucap Alkana dengan nada mendayu-dayu.

Alkana adalah tipe orang yang menurut Altair cekatan, jadi dirinya tak sungkan memuji kinerja Alkana.

Altair tertawa sambil menggelengkan kepalanya, "Apa coba? Bukannya udah biasa?"

Alkana mendengus lalu mendudukkan diri di kursi, ia duduk bersebrangan dengan Altair.

"Udah jam lima lebih, lo gak pulang?" Tanya Alkana pada orang di depannya itu yang malah asik mengetik di laptopnya.

Altair yang tengah menatap dokumen-dokumen itu berdehem tampa menatapa Alkana,"Hm? Harusnya gue yang tanya kayak gitu, lo gak pulang?"

Alkana mendecak kesal dengan jawabannya Altair, "Kebiasaan dah, kalau orang lain tanya bukannya dijawab malah tanya balik."

Alkana mengalihkan pandangannya menatap Altair dengan terkekeh, "Sorry, sorry. Bentar lagi deh, gue mau nyelesaiin ini dulu,"

"Jangan terlalu maksain diri, lo bukan robot Al," ucap Alkana menatap Altair prihatin, Altair itu tipe orang yang sangat mengedepankan tugas yang diembannya, ia tak peduli tugas itu kelompok atau individu, intinya semuanya kerjaan itu harus ada campur tangannya, bahkan ia selalu menawarkan untuk mengerjakan suatu tugas sendiri. Walaupun sendiri, tapi hasil tugas itu sangat memuaskan, dari situlah juga muncul julukan itu.

"Lo juga Al," ucap Altair pada Alkana yang tengah bermain pulpen.

Tangan Alkana mengembalikan pulpen itu ketempat semula, ia tak mau Altair marah karena barangnya tak ditata kembali, "Berasa kembar gue sama lo."

"Gue sih gak keberatan," Altair mengangkat bahunya santai, ia tak keberatan kalau punya saudara, ia anak tunggal.

Alkana tertawa puas, "Apalagi gue, kapan lagi punya kembaran 'Tuan Tanpa Cela'"

Altair menghela napas, ia sebenarnya kurang nyaman dengan julukan itu, "Gue juga manusia kali, gue juga punya cela."

"Ya tapi gak terlihat dengan jelas Al," balas Alkana dengan nada yang sangat meyakinkan.

"Udah deh, mending lo pulang. Nanti dicariin bunda," ucap Altair pada Alkana, niatnya bukan menyuruh Alkana pulang, tapi mengusir Alkana agar cepat pergi, biar dia segera menyelesaikan dokumen ini.

Alkana yang sadar langsung berdiri dari duduknya, "Oh iya! Gue baru inget gue disuruh nganterin cateringan."

"Kan, udah sana pulang," usir Altair.

"Gue balik ya, lo jangan malem-malem pulangnya. Gak baik buat anak bujang," pamit Alkana diakhiri dengan tawa jenaka.

Altair tertawa, "Iya lo juga, awas dipepet tante-tante girang di gang senggol."

Alkana bergidik ngeri, "Dih, amit-amit," ucapnya lalu berjalan ke arah pintu, tangannya memegang gagang pintu itu.

"Btw Al," ucap Alkana yang berdiri dengan tangan yang masih memegangi gagang pintu.

"Hm?"

Alkana menolehkan kepalanya, "Lo pucet banget, cepet pulang gih."

"Iyakah? Mungkin efek gue belum makan," jawab Altair, mungkin efek belum makan menyebabkan wajahnya terlihat pucat.

Alkana mendecak untuk kedua kalinya, ia sudah tahu tabiat Altair yang melewatkan makan demi mengerjakan sesuatu, "Ck kebiasaan,"

"Abis ini gue makan kok," jawab Altair melirik bekal dari neneknya yang masih belum tersentuh.

"Serius?" Tanya Alkana dengan nada menuntut.

Altair mendengus, "Iya, lo bawel banget ya."

"Dih, yaudah bye. Jangan kangen gue," ucap Alkana dengan mengarahkan kiss bye pada Altair.

"Menjijikan," balas Altair mengibaskan tangannya di depan wajahnya.

Setelah Alkana menutup pintu ruang OSIS, Altair kembali fokus pada laptopnya, menampilkan laporan keuangan yang dikirim oleh bendahara OSIS.

"Berarti anggarannya masih sisa, lumayan. Semoga P5 kali ini lebih sukses dan meriah," gumamnya sambil menatap dokumen dari bendahara OSIS.

Altair kembali mengetikkan pesan dari laptopnya di grup OSIS, namun tiba-tiba ia menghentikan ketikannya, Altair mengernyitkan dahinya, perutnya mendadak mual, kepalanya terasa berat, jangan lupakan matanya yang berkunang-kunang. Apa lambungnya sedang kambuh sekarang?

Tes

Tetesan darah dari hidungnya mengenai dokumen-dokumen yang ia cek kembali. Ini pertama kalinya ia mimisan, Altair mencekram kepalanya yang terasa ingin pecah, ia tak sanggup berdiri. Darah itu terus mengucur dengan deras, ia menggeram kesakitan.

Brug

Tubuhnya terjatuh di lantai, ia meringkuk kesakitan. Matanya sudah tak kuat untuk dibuka.

'Nenek, ibu, Al tidak sanggup, sakit'

Matanya memberat dan saat itu juga kesadarannya telah direnggut oleh kegelapan.

























To Be Continued
ALTAIR | ©DRUNKZED_

Hai! Panggil aja Sezyzz, ini pertama kalinya aku buat cerita tentang transmigrasi jadi aku minta dukungannya untuk cerita ini. Aku juga minta maaf nantinya kalau gak bisa nulis cerita ini sesuai dengan ekspetasi kalian. Tapi aku bakal usahain! Jadi, See you next chap! Jangan lupa vote and comment ya :)

-Sezyzz

ALTAIRWhere stories live. Discover now