72

2.6K 272 46
                                    

Momen haru yang mungkin hanya akan terjadi sekali seumur hidupnya itu justru menjadi penyesalan terbesar bagi Mas. Kesempatan sekali seumur hidup itu, menemani Vanessa melahirkan adalah harapan dan keinginannya. Namun, Mas harus menerima kenyataan pahit bahwa ia harus mengikhlaskan momen itu.

Perjalanan dari NTT ke Jakarta yang ditempuh dua jam lebih tentu tidak memiliki harapan untuk setidaknya Mas bisa menemani Vanessa dipertengahan persalinan istrinya itu. Ketika ia sudah mendarat di Jakarta, persalinan Vanessa sudah selesai.

Istrinya itu berjuang sendiri tanpa ia temani. Tapi, untung saja Vanessa ditemani Mama di ruang operasi tadi. Namun begitu, ia bersyukur kedua anaknya baik baik saja dan sehat. Permasalahan lainnya adalah, keadaan Vanessa yang terus turun drastis pasca melahirkan. Selama persalinan dimulai, Vanessa masih tetap sadar walaupun tidak sepenuhnya, bahkan istrinya itu juga sudah melihat langsung kedua anaknya. Namun, setelahnya Vanessa kembali kehilangan kesadarannya dan sampai sekarang istrinya itu belum kunjung sadar.

Selama perjalanan Mas terus berdoa, pikirannya yang semakin tidak tenang itu membuat ia resah. Terus menggigit ibu jarinya karena gugup hingga ia tidak sadar sudah melukai jempolnya.

Sesampainya di rumah sakit, Mas langsung berlari sekencang mungkin menuju ruang rawat inap sang istri. Mas hanya bisa memikirkan keadaan Vanessa, bahkan kedua anaknya yang sudah lahir saja tidak sempat ia pikirkan.

"Mana Vanessa, Ma?" Tanya Mas dengan nafas yang tidak beraturan melihat Mama berada di sepanjang koridor ruang perawatan.

"Cepetan ke kamar, itu di ruangan 510." Mas mengangguk mengerti dan langsung masuk ke kamar yang diberitahu oleh Mama.

Sesampainya di dalam kamar, Mas langsung terdiam membeku melihat istrinya terbaring tidak berdaya. Kedua matanya masih tertutup rapat rapat.

Beberapa anggota keluarga yang menyadari kehadiran Mas langsung memperhatikan raut wajah Mas yang pucat pasi. Di dalam kamar itu tidak banyak orang, hanya beberapa orang yang tidak lebih dari lima.

Mas melangkah ragu mendekat ke ranjang Vanessa, bahkan wajah istrinya saja terlihat lelah dan pucat. Mas langsung meraih tangan Vanessa yang sedang diinfus, mengelusnya dengan pelan. Matanya sudah berkaca kaca, rasa bersalahnya terus menggerogotinya. Bahkan Mas juga kecewa dengan dirinya sendiri.

"Vanessa.. Mas disini, ayo bangun." Sahut Mas dengan suara seraknya.

"Maafin Mas, sayang. Mas minta maaf." Mas gemetaran dan meneteskan air matanya yang mengenai tangan istrinya.

"Vanessa.." Mas terus berusaha memanggilnya dengan sendu dan kekhawatirannya yang tak kunjung usai. Rasanya melihat Vanessa seperti ini dunianya hampir hancur.

"Pak Teddy.. Vanessa nanti pasti bangun kok." Ati berusaha mendekat karena tidak tega melihat Mas yang seperti hampir kehilangan harapan hidupnya. Laki laki yang masih memakai pakaian dinas hariannya itu sudah sangat kacau.

"Sudah berapa lama, mbak?" Tanya Mas.

"Udah dua jam pasca persalinan, Pak." Jawab Ati.

"Kenapa bisa seperti ini?" Tanya Mas dengan pikirannya yang sudah amburadul.

"Tadi dokter bilang, Vanessa sempat pendarahan selama persalinan. Tapi untungnya bukan pendarahan hebat. Dan ternyata Vanessa juga kena hipoglikemia (gula darah rendah) dan syncope (kurangnya asupan darah ke otak). Tapi dokter bilang akan baik baik saja, tinggal nunggu Vanessa sadar aja." Mendengar hal itu saja, jantung Mas rasanya seperti berhenti berdetak. Tapi ia sangat bersyukur karena Vanessa akan baik baik saja.

"Pak.. jangan pernah sakitin Vanessa ya? Dia hebat banget ngelewatin semuanya sendirian hari ini. Bahkan disaat kesadarannya udah diujung tanduk, dia nggak marah sama Pak Teddy yang nggak bisa nemanin dia lahiran." Ucapan Ati sangat menusuk hatinya.

He Fell First and She Never Fell?Where stories live. Discover now