part 4-Stay Close, Don't Go!

14.5K 642 3
                                    

Malam itu, Demon benar-benar terpuruk. Laki-laki itu kembali jatuh dalam lubang penderitaan yang selama ini sudah dia tutup dengan penuh perjuangan. Kejadian tragis itu kembali terekam dalam ingatan. Bagaimana dia mengingat semua peristiwa itu … peristiwa yang berhubungan langsung dengan ayah kandungnya sendiri. Bagaimana kekecewaan serta amarahnya bangkit ketika mengetahui dalang dibalik peristiwa itu adalah ayahnya sendiri. Dia benci ayahnya. Dia sangat membenci ayahnya! Tapi, kebencian seperti apapun pada ayahnya, tidak akan sanggup membuat semuanya kembali seperti semula. Seperti dulu lagi. Tidak akan pernah membuat gadis itu kembali lagi ke sisinya. Tidak akan pernah bisa membuat gadis yang dicintainya kembali hidup.

            Setelah puas melampiaskan semua emosinya, mengobrak-abrik seluruh isi kamarnya, Demon jatuh terduduk di sudut kamarnya. Napasnya masih terlihat memburu. Digenggamannya terlihat sebuah kertas yang sudah berubah menjadi gumpalan. Matanya menatap jauh ke arah pintu kamarnya. Menerawang. Bahkan dalam kegelapan malam serta kegelapan kamarnya pun, bekas air mata di wajah Demon masih bisa terlihat.

            Kemudian, laki-laki itu membuka gumpalan kertas yang berada dalam genggamannya. Diperhatikan lagi seluruh kalimat dari tulisannya sendiri. Begitu tajam, begitu fokus.

            “Elo yang buat gue memilih jalan ini, Ev ….” Demon berkata lirih. Suaranya begitu rapuh, serapuh hatinya saat ini. Kalau saja saat itu dirinya juga ikut pergi meninggalkan dunia ini, seperti dia ….

            “Ve … gue butuh elo … kenapa elo justru mengirimkan seseorang yang sangat mirip sama lo ke kehidupan gue? Apa ini hukuman buat gue karena perbuatan bokap gue ke lo? Kenapa gak lo ambil aja nyawa gue? Gue justru tersiksa dan mati secara perlahan kalau seperti ini terus!”

            Butiran kristal itu kembali turun. Itulah suara dan jeritan penderitaan Demon. Mengalir turun bersama air matanya. Laki-laki memang tidak boleh menangis. Sekuat dan sekeras apapun masalah yang dia hadapi. Tapi, jika beban yang ditanggung mereka sudah begitu besar, begitu menghimpit, begitu sesak … tidak ada yang salah kalau mereka menangis. Menangis itu manusiawi. Terkadang kata-kata yang tidak sanggup kita ucapkan akan terbaca lewat tetesan air mata yang turun dari mata.

            “Ve ….” Demon kembali menggumamkan nama gadis itu dengan lirih. Ve. Cahaya kehidupannya. Cinta pertamanya. Gadis yang sangat peduli terhadapnya. Gadis yang mengajarkan kasih sayang dan cinta dalam hidupnya. Gadis yang selalu ada untuknya apabila dia merasa kesepian dan membutuhkan pertolongan. Gadis yang rela mengorbankan apa saja untuk Demon, termasuk jiwa dan raganya.

            Demon sudah berusaha keras melupakan Ve dan juga kenangan buruk itu. Usaha itu hampir berhasil, kalau saja dia tidak bertemu dengan Ever. Ever dan Ve. Gadis yang mempunyai wajah yang hampir sama, tinggi yang sama, mata yang sama, hidung dan lainnya. Hanya potongan rambut dan sikap mereka yang berbeda. Kalau Ever memiliki sikap tubuh yang ceria, Ve justru memiliki sikap yang berbeda. Ve terkesan pendiam dan dari matanya terpancar kesedihan dan kepedihan yang mendalam. Dan semua itu karena dirinya dan juga ayahnya.

            “Ve … kenapa lo harus hantuin gue dengan rasa bersalah ini? Kenapa?” tanya Demon dengan suara serak.

            Demon tahu Ever tidak seharusnya mendapat perlakuan kasar dan dingin darinya. Tapi, Demon tidak bisa menghentikan sikapnya itu. Demon takut. Laki-laki itu takut kalau dia bersikap ramah dan bersahabat dengan Ever, Demon akan mulai memiliki perasaan pada gadis itu. Dan itu tentu saja bukanlah rasa suka yang tulus. Itu hanyalah sebuah pelampiasan. Karena Ever mengingatkannya pada Ve.

            “AAARRRGGGGHHH! SIALAAAANN!!”

            Diiringi dengan teriakannya yang menggelegar, Demon melempar vas bunga yang ada di atas meja kecil di sampingnya, hingga pecahannya tersebar kemana-mana.

HauntedWhere stories live. Discover now