BAB 9

12 1 0
                                    


Setelah satu pekan, akhirnya tiba giliran Rania mendapat jatah libur. Hari ini ia tak memiliki rencana apapun. Sengaja Rania ingin mengistirahatkan tubuh dan pikirannya dengan cara tidak bertemu banyak orang. Untuk itu ia memutuskan untuk di rumah saja. Bahkan ia sudah meminta Ando untuk tak menggangunya sehari itu.

Rania masih enggan beranjak dari tempat tidurnya. Sambil tiduran, pandangannya tertuju mengitari kamar bercat biru yang warnanya mulai pudar itu. Ruangan yang tak terlalu besar namun menjadi satu-satunya tempat ternyaman yang ia miliki. Pandangan Rania tertuju pada sebuah buku bersampul putih di atas nakas.

“Owh, ya udah aku akan khitbah kamu."

Kalimat itu terus mengusik pikiran Rania, berkelebat secara terus menerus hingga membuatnya kelimpungan. Rania meraih buku berjudul Di Jalan Dakwah Aku Menikah karya Cahyadi Takariawan yang masih bersegel itu. Wangi kertas yang khas langsung tercium begitu Rania membuka bungkus plastik.

Ando memberikan buku itu setelah Rania menceritakan tentang masalah khitbah. Rania membuka helai demi helai kertas, membaca kalimat demi kalimat. Butuh berkali-kali Rania membaca isi buku tersebut untuk memahami dengan gamblang kata per kata. Barangkali Rania sedang mencari petunjuk, cara seperti apakah yang harus Rania ambil.

Mendadak keraguan itu muncul lagi, terlebih jika Rania mengingat kalimat Ando yang memintanya untuk tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Menikah tak hanya soal mental, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Menikah bukan sekedar mengikuti zaman, budaya ataupun faktor umur. Lebih dari itu ada berbagai hal yang harus dipahami dan di persiapkan, terutama niat. Setelah itu hal yang dibutuhkan yaitu kesiapan. Tidaklah seseorang dikatakan siap melakukan sesuatu sebelum akal, hati dan anggota tubuhnya menyatakan kesanggupan.

Rania meletakkan pembatas buku di halaman terakhir yang ia baca untuk ditandai. Ia kembali lagi ke tempat tidur untuk mengambil ponselnya yang tergeletak di dekat bantal. Dengan mantap Rania membuka sebuah kontak telepon, mencari sebuah nama lalu jemarinya dengan lihai mengetik sebuah kalimat. Lalu menekan tombol kirim.

"Kamu nggak perlu anggap serius apa yang sudah aku katakan. Mungkin waktu itu aku khilaf. Kita nggak saling kenal sebelumnya. Maaf kalau sudah membuat bingung."

Dalam hitungan detik, pesan yang Rania kirimkan untuk Elang melalui whatsapp sudah terbaca. Dua buah garis biru sudah terlihat. Hatinya mendadak sesak, seharusnya ia merasa lega sudah berhasil mengucapkan kalimat itu pada Elang meski hanya melalui pesan singkat.

Hari masih terlalu pagi, bahkan swalayan tempat Rania bekerja pun belum beroperasi. Elang sudah memarkirkan mobilnya. Jika biasanya ia akan dengan sabar menunggu di tempat parkir, kali ini berbeda. Ia berjalan mendatangi security yang tengah berjaga, tegas Elang mengatakan ingin menemui Rania.

Sepertinya suasana hati Elang sedang tidak baik. Moodnya sudah kacau, satu pesan dari Rania berhasil membuatnya kalang kabut. Sementara menunggu security yang sedang memanggil Rania, Elang berusaha untuk menghubungi gadis itu. Sayang, ponselnya tidak aktif setelah pesan yang dikirimkannya.

Setelah beberapa waktu menunggu, security kembali membawa kabar yang membuat Elang semakin kalut. Rania sedang off, sia-sialah apa yang dilakukan Elang pagi ini. Elang bermaksud mencari Rania untuk meminta penjelasan tentang pesan singkatnya.
Dari swalayan tempat Rania bekerja, Elang melaju melintasi padatnya jalanan. Tujuannya sudah pasti adalah rumah Rania. Nalurinya mengatakan jika gadis itu bisa ia temui di sana. Lima belaas menit Elang menenangkan diri dalam mobil sebelum menemui Rania.

Rania baru saja keluar dari kamar mandi. Ia terkejut saat terdengar pintunya diketuk beberapa kali. Dengan rambut basah yang masih terbungkus handuk, Rania berjalan untuk membuka pintu.

"Ando! Nggak bisa banget sih lihat aku santai sehari saja."
Rania terus menggerutu. Sudah jadi kebiasaan Ando saat tahu Rania sedang dapat jatah libur, ia pasti akan mengajaknya pergi.

"Awas aja ya. Aku kan udah bilang nggak usah datang hari ini!"
Dalam konsidi kesal, Rania membuka pintu. Betapa kagetnya saat pintu terbuka, Elang sudah berdiri di hadapannya dengan raut wajah redup. Keduanya saling beradu tatap, tak ada kalimat pembuka meski tatapan mereka saling berbicara.

"Ada yang harus dibicarakan."

Rania hanya mengangguk. Tatapan Elang tak seperti biasanya, kali ini terlihat lebih dingin. Rania mempersilakan Elang untuk menunggunya berganti baju, sungguh ia tak menyangka tamunya pagi ini adalah Elang. Dengan setelan piama dan handuk yang membungkus rambut basahnya, Rania membuka pintu karena mengira Ando yang datang.

Dengan gugup dan perasaan bercampur aduk, Rania keluar membawa nampan berisi teh panas dalam gelas bergambar hello kitty.

"Hanya ada teh."

Usai mempersilakan Elang untuk meminum teh, Rania duduk bersebelahan dengan Elang. Jarak mereka hanya terpisah oleh meja bundar. Ada dua buah cangkir dan satu tanaman kaktus menghias meja.

"Ini apa, Rania?"
Elang memperlihatkan pesan yang pagi tadi dikirimkan Rania. Gadis itu tertunduk, ia tak berani membalas tatapan Elang.

"Kamu mau mempermainkan perasaanku, Ran?"
Kalimat itu sukses menghantam hati Rania. Dadanya sesak, sungguh ia tak bermaksud untuk mempermainkan perasaan Elang. Namun sepertinya Rania kehilangan kata-kata untuk mengatakannya pada Elang.

“Kamu serius sama aku?"

Ini adalah pertemuan pertama setelah Elang mengatakan akan mengkhitbah Rania bulan depan. Betapa canggungnya situasi saat itu, mereka tak berani saling menatap. Hanya perbincangan tentang keseriusan mereka masing-masing

Untuk soal beginian masak aku bercanda?

"Elang, selama ini aku nggak pernah dekat dengan lelaki manapun kecuali Ando, sahabatku. Aku hanya menunggu ada lelaki serius yang datang bersama keluarganya untuk mengkhitbahku."
Mendengar itu, adrenalin Elang terpacu kencang. Dengan mantap ia kembali menyatakan maksudnya.

“Bulan depan aku akan merealisasikan niat dan berkunjung ke rumahmu untuk mengutarakan niat baik mengkhitbah kamu."
Logika memintanya mengatakan bahwa ia sudah gila jika melakukan hal senekad ini. Namun hatinya segera membantah.

Setelah menjelaskan kepada Elang, Rania menawarkan proses bertaaruf untuk mengenal karakter masing-masing. Ia juga meminta Elang untuk Salat Istikhoroh meminta petunjuk kepada sang empunya cinta.

******

Waktu berlalu begitu cepat usai pertemuan mereka sebelumya. Elang kembali mempertanyakan keyakinan masing-masing. Dan yang melegakan keduanya menyatakan semakin mantap dan yakin. Persoalan keyakinan Rania dan Elang sudah selesai. Rasa haru menyelimuti perasaan Rania, ia tak menyangka jika niat baiknya bersambut baik.

Dalam sebuah kesempatan, Rania memberanikan diri menanyakan sesuatu yang masih mengganjal dalam hati Rania.

“Ridho Allah terletak pada ridho orang tua. Bagaimana dengan keluarga kamu, Mas?"
Sejak kapan panggilan Rania pada Elang berganti menjadi mas. Terdengar kaku, namun Rania ingin lebih menghargai calon imamnya itu dalam proses taaruf ini.

"Aku sedang mencari waktu untuk mengatakannya, Ran."
Ada sedikit kekhawatiran yang Rania rasakan. Pasalnya Elang menyampaikan niat untuk mengkhitbah Rania dalam kondisi belum mengkomunikasikannya dengan sang mama. Belum ada jaminan mereka akan mendapat restu.

Namun satu hal yang pasti jika mama Elang setuju, semua akan baik-baik saja, tapi kalau tidak? Tidak ada lagi istilah taaruf antara Elang dan Rania. Sebab bagi Elang, mama adalah segalanya. Lelaki itu begitu menghormati dan mencintai mamanya.

RANIAWhere stories live. Discover now