9. Argued

139 22 4
                                    

Written by: SarahFransiscaaaa

Aku masih enggan berpisah dengan mama. Bukan hanya karena masih rindu, tapi kenyataan aku harus kembali ke rumah di mana mama Ambar dan Evalia berada, benar-benar membuatku enggak rela waktu berjalan dengan cepat. Taxi yang akan mengantar mama ke stasiun terlebih dulu mengantarku ke depan rumah papa.

Mama berdecak kagum melihat rumah besar dengan pagar aesthetic. "Bagus juga rumah Gunardi," gumam mama yang masih bisa kudengar.

Kebalikan dari mama, aku menatap rumah itu dengan enggak bersemangat. Membayangkan kembali hari-hari yang menyiksa batinku selama tinggal di sana, membuatku ingin pulang ke rumah bersama mama dan kedua eyangku.

Rupanya kegundahanku terbaca oleh mama. "Kamu kenapa?" tanya mama. Aku selalu salah tingkah jika ditatap dengan sorot mata intens oleh mama. "Kamu enggak berniat membatalkan semua rencana yang sudah kita susun, kan, Mai?" selidik mama yang tepat sasaran.

Aku gugup dan setengah mati menutupinya. Kugelengkan kepala dengan gerakan yang kuusahakan setegas mungkin. "Demi kebahagiaan kita," kataku yang sebenarnya untuk menguatkan kembali tekat di dalam diriku.

Bibir mungil dan indah milik mama mulai menukik naik. Dia terlihat lebih cantik dan memesona dengan senyumannya itu. Dengan gemas, mama mencubit pipiku lalu menciumnya.

"That's my girl," ucapnya dengan penuh semangat.

Sebelum aku beranjak keluar taxi, mama berkata, "bawa kembali papamu ke pelukan kita, Sayang."

Aku cuma bisa tersenyum tipis untuk menanggapi ucapan mama. Semoga saja, Ma. Semoga aku bisa mengembalikan kebahagiaan kita yang sempat dicuri.

Aku berjalan dengan enggan memasuki rumah bercat putih tulang dengan banyak ornamen jawa di setiap sudutnya.

"Maira." Itu suara mama Ambar.

Sumpah. Aku benar-benar enggak pengin diganggu atau sekadar berbincang dengan mama Ambar ataupun Evalia. Sialnya, mereka berdua duduk di ruang tengah dan menatap ke arahku seolah mengajak bicara.

"Mbak Maira dari mana aja? Kok, semalam enggak pulang?" Evalia tanpa basa-basi langsung menanyaiku.

Dalam posisi masih membelakangi mereka, aku menarik nafas dalam dan mengembuskannya perlahan. Kupejamkan kedua mata demi mengatur kejengkelan yang mulai bergulung-gulung seperti ombak tinggi.

"Aku udah bilang, kok, sama papa kemarin kalau aku enggak pulang," kataku kemudian kembali berjalan.

Baru satu langkah kakiku bergerak, mama Ambar kembali berkata, "kamu bisa, kan, kasih kabar juga ke tante?"

Selesai. Enggak ada lagi kekesalan yang bisa kuredam. Semuanya membuncah di dalam dadaku, menggebu dan menuntut untuk diluapkan.

Aku membalikkan tubuh menghadap mereka. Dengan tatapan enggak percaya pada ucapan mama Ambar, kukatakan, "buat apa?"

Mama Ambar terlihat menarik nafas sejenak. "Kamu, kan, tinggal di sini. Berarti kamu itu tanggung jawab kami. Kalau ada apa-apa dengan kamu, kami yang akan disalahkan."

Aku enggak bisa mencegah senyum mencemooh yang terbit di bibirku. "Sejak kapan tante mikirin tanggung jawab dan kesalahan?" tanyaku dengan suara sedingin gunung es. "Tante boleh jadi aktris hebat di depan papa, tapi tante enggak bisa bersandiwara di depan aku. Kalau tante ngerti arti tanggung jawab dan bersalah, harusnya tante enggak bakal memilih untuk bahagia di atas penderitaan wanita lain," tukasku kemudian langsung berjalan ke kamar.

Enggak kupedulikan tampang tante Ambar yang seperti tersambar petir. Enggak kupedulikan juga Evalia yang terlihat ketakutan bercampur terkejut. Satu-satunya yang kuinginkan saat ini hanya kembali ke kamarku yang sepi dan bergelung di dalam selimut.

BrainwashWhere stories live. Discover now