17. Lier

148 17 3
                                    

Written by: SarahFransiscaaaa

Hal terakhir yang kuingat adalah aku tidur sambil tersenyum penuh kemenangan, tapi kenapa sekarang tubuhku kembali kecil? Rambutku dikuncir dua seperti saat masih berusia empat tahun. Seseorang membelai rambutku. Sentuhannya terasa lembut dan menyenangkan. Setiap kali kulitnya menyentuh kulitku, rasanya hangat dan penuh cinta. Ahh, iya. Sentuhan mama saat aku kecil dulu, kan, selalu penuh cinta seperti ini.

"Maira." Suara itu terdengar samar-samar. Nada lembut itu menyapa gendang telingaku.

Meski terdengat menyenangkan, tapi aku yakin itu bukan suara mama.

"Maira." Suara itu kembali hadir berbarengan dengan sentuhan di helai rambutku.

Saat sebuah tangan menyentuh dahiku, aku terperanjat hingga terbangun dari mimpiku. Saat mataku sudah menyesuaikan dengan cahaya di dalam kamar, aku mendapati mama Ambar duduk di tepian temoat tidurku. Sambil tersenyum, mama Ambar kembali menyentuh keningku perlahan.

"Masih demam, Sayang?" tanya mama Ambar dengan senyum khasnya.

Aku menggelengkan kepala dengan kaku. Rasanya aneh mendapati mama Ambar di dalam kamarku. "Sudah mendingan," jawabku.

"Syukurlah," kata mama Ambar dengan wajah lega. "Tante bawakan susu dan bubur ayam kamu sarapan." Mama Ambat menunjuk makanan yang sudah ia letakkan di atas nakas kamarku.

Aku mengangguk tanpa mau repot-repot mengucapkan terima kasih. Untuk apa? Toh, aku enggak memintanya melakukan itu, kan?

Mama Ambar terlihat berpikir. Ia seolah tengah menimbang apa yang akan dikatakannya. Bosan menataonya seperti itu, kukatanakn saja, "kalau enggak ada lagi yang mau tante omongin, aku mau mandi dulu."

Mama Ambar menggelengkan kepala dengan cepat. "Bukan..." Ia membasahi bibirnya. "Hanya saja laptop Evalia rusak," katanya lagi.

Aku menatapnya dengan tatapan seolah berkata, "terus?"

"Apa kemarin sore kamu pakai laptop Evalia?" tanya mama Ambar ragu-ragu.

Aku menunjukan raut tersinggung. "Apa tante nuduh aku?" tanyaku dengan nada dingin. "Aku kemarin sore memang ada di rumah, tapi apa itu bisa dijadikan alasan buat nuduh aku?"

"Bukan, bukan begitu," kata mama Ambar dengan cepat. Raut wajahnya berubah panik.

Demi menguatkan alibiku, kutunjuk laptoo yang ada di atas meja belajarku. "Buat apa aku pinjam laptop orang? Mama ngasih aku laptop paling canggih dan keluaran terbaru. Apa aku lebih baik enggak usah pulang saja ya kalau rumah lagi enggak ada orang. Biar enggak dituduh seenaknya," sinisku.

Aku takjub dengan kemampuan sandiwaraku. Sejak kapan aku pintar bermain peran seperti ini?
Ahh, lagipula untuk menghadapi orang-orang licik seperti mama Ambar dan Evalia, kan, memang diperlukan keahlian begini.

Mama Ambar menggeleng lemah. "Maafin tante. Tante enggak bermaksud nuduh kamu..." Kalimatnya menggantung. Ia menarik nafas sebelum kembali berkata, "Evalia lagi ada deadline naskah novel. Keadaan ini bakal sangat merepotkan buat dia."

Aku memutar bola mata dengan jengah. "Terus, apa tante enggak mikirin keadaanku yang baru aja mendingan, sekarang udah dituduh begitu?"

"Tante minta maaf," ucapnya lagi.

"Apa kamu bisa bantu benarin laptop Evalia?" tanya Mama Ambar lagi.

Aku menggeleng. "Aku jurusan IPA dan Matematika, bukan informasi teknologi, Tan," sahutku acuh.

Mama ambar tersenyum canggung. Setelah mrngembuskan nafas berat, ia meninggalkan kamarku. Sebenarnya, aku bisa saja membantu Evalia membersihkan virus di laptop Evalia, tapi jelas aku enggak sudi. Buat apa? Evalia harus merasakan apa yang aku rasakan, kan?

Setelah yakin bahwa mama Ambar enggak menguping, aku meraih ponsel dan menghubungi nomor mama. Seperti biasa, mama selalu saja sulit untuk dihubungi. Mungkin mengabaikan panggilan teleponku adalah hobinya. Mama baru menjawab teleponku pada panggilan ke lima.

"Mama ke mana aja, sih?" protesku begitu mama menyahut. "Selalu susah kalau ditelepon. Giliran mma yang telepon dan enggak aku angkat, mama marah-marah."

"Haduh, nyesel mama angkat teleponmu kalau tahu kamu cuma mau ngomel-bgomel begini," keluh mama dengan nada lelah.

Aku tertawa ringan sambil memggaruk kepala yang enggak gatal. "Sorry, deh, Ma. Habisnya aku udah enggak sabar pengin cerita sama mama," kataku berusaha agar enggak memancing omelan mama lebih panjang lagi.

"Cerita apa, nih? Awas aja kalau enggak menarik. Mama bakal ngambek, nih," goda mama. Alu yakin pasti suasana hatinya lagi bagus makanya nada bicaranya seroang ini. Mama bahkan sambil bercanda saat mengatakannya.

Tana berlama-lama, kuceritakan saja semua yang kulakukan pada Evalia dan Mama Ambar. Dengan senang hati Mama memuji kinerjaku. Aku merasa tersanjung oleh ucapan mama. Semoga saja ini menjadi pertanda baik untuk usahaku.

"Mama punya ide," kata mama dari seberang sana dengan penuh antusias. "Raih simpati papa. Bila perlu, kamu bikin mereka bertengkar."

"Caranya?" tanyaku polos.

"Adu domba aja mereka. Ya, sama kayak waktu dulu Ambar ngerebut papamu dari mama. Dia menggunakan cara mengadu domba mama dengan papa. Dia meraih simpati papa dengan cara kotor. Biar dia rasakan bagaimana sakit hatinya difitnah dan dibenci orang yang dia cintai." Ucapan mama kali ini kembali mengingatkanku pada masa kecil yang begitu pahit.

Aku mengangguk meski tahu mama enggak bakal melihatnya. Setelah menyadari gerakan sia-siaku  dengan cepat kukatakan, "oke, Ma."

Setelah menutup telepon, aku bergegas ke kamar mandi dan bersiap ke kampus. Lagi-lagi aku dibuat terkejut ketika mendapati Evalia sedang duduk di ruang makan bersama mama dan papa. Aku enggak heran dengan keakraban mereka. Yang membuatku terkejuf adalah menemukan Evalia yang baik-baik saja. Dia bahkan enggak terlihat stress atau sedih. Evalia seceria biasanya.

"Mba Maira," panggil Evalia begitu mendapati aku berdiri di ruang makan. "Sini, Mba," kata Evalia sambil menepuk kursi si sebelahnya. Seperti robot bodoh, aku menurut saja pada Evalia. "Kata mama sama papa, Mbak Maira sakit ya?" tanya Evalia lagi.

Setelah berhasil menenangkan diri, kujawab saja, "udah mendingan, kok."

Evalia menganggukkan kepalanya. "Mbak pasti kecapekan, deh," komentar Evalia lagi.

Dengan perhatian dari Evalia ini, seertinya hal yang wajar jika aku bertanya balik mengenai laptopnya. "Kamu sendiri gimana laptopnya?" tanyaku.

"Virusnya galak. Semua file-ku raib dimakan." Dia menghela nafas kesal. "Tapi untungnya aku masih nyimpan back up data di external hard disk. Tapi, tetep mesti kerja keras. Soalnya yang di hard disk enggak serapi yang ada do laptop."

Sial! Kenapa, sih, lagi-lagi aku gagal? Kenpa aku enggak memperhitungkan soal hard dish, flash disk, atau apapun itu?

Demi menutupi perasaanku yang kacau balau, kuanggukan kepala sambil berkata, "great."

Aku menolak ketika mama Ambar berniat mengambilkan makanan untukku. Selain karena tadi sudah memakan bubur yang mama Ambar antarkan ke kamarku, selera makanku pun sirna ketika melihat Evalia. Aku hanya meminum air putih bersama mereka sambil memutar otak mencari cara lain.

Ahh, kenapa, sih, semua usahaku berujung sia-sia, selalu saja gagal?

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Meski sebel karena usaha Maira gagal buat ngilangin naskah cerita Evalia, kok aku ngerasa bersyukur juga sih karena Evalia menyimpan file itu di external hard disc.

Maaf nih, Mairalova. Bukannya ngebelain Evalia. Cuma berkaca pada diri aja, hihi.

Hari ini aku bakalan triple update nih. Ini karena Mbak SarahFransiscaaaa lagi ngebut ngetiknya, kereeennn.

Pada seneng, kan karena nggak digantung rasa penasarannya. Sipp!

BrainwashWhere stories live. Discover now