12. Kemenangan Palsu

154 19 2
                                    

Sekali lagi aku mencoba menelepon Mama. Mungkin ini panggilan telepon ke lima belas, tapi enggak juga Mama mengangkatnya. Sudah aku kirim pesan melalui Whatsapp juga kalau Mama harus menerima atau menelepon kembali bila sudah membaca pesanku ini. Namun tetap saja enggak ada pesan balasan, apa lagi panggilan balik dari  Mama.

Mungkin memang aku yang salah. Aku terlalu pagi menelepon Mama. Pukul lima pagi merupakan jam sibuk Mama. Wanita berambut cokelat itu pasti sedang mandi atau malah sedang menyiapkan sarapan. Tapi info yang akan aku sampaikan kepada Mama ini sangat penting sekali. Info yang seharusnya sudah aku sampaikan sejak semalam, tertunda karena Mama enggak mengangkat telepon sampai aku ketiduran.

“Halo, iya, Sayang? Kok pagi sekali kamu ….”

“Mama! Mama susah banget sih dihubungi. Semalam aku sampai ketiduran gara-gara Mama kelamaan menerima teleponnya,” keluhku dengan nada bicara penuh kesal.

“Mama kan lagi sibuk. Lagian ada apa, sih?”

“Semalam sibuk juga?” selidikku.

“Kalau kamu menelepon cuma mau mendebat Mama, lebih baik Mama tutup teleponnya.” Ancaman Mama membuatku teringat akan tujuanku menelepon.

“Eh, jangan Ma, jangan! Jadi begini, Ma. Kemarin itu aku berhasil bikin Tante Ambar sama Papa marahan,” kataku menggebu-gebu.

“Apa?! Serius? Gimana ceritanya?”

Kujelaskan panjang lebar kejadian kemarin di area pemancingan. Mama senang sekali mendengarnya. Pujian dan ungkapan sayang mengalir dari mulut Mama untukku. Aku merasa bangga sekali karenanya.

Setelah puas menelepon Mama, kuputuskan untuk segera ke ruang makan. Aku berniat sarapan sedikit karena semalam Erlangga bilang, mau menjemputku lebih pagi dibandingkan biasanya. Aku membawa serta tas dan botol minuman yang kosong. Botol itu akan aku isi air dan menjadikannya bekal saat kuliah.

Di meja makan semua sudah berkumpul. Setelah mengisi botol air minum sampai penuh, aku menaruh tas dan botol di kursi yang berada di sebelah Evalia. Kemudian aku mengambil duduk pada kursi di sebelah tasku berada. Kulihat suasana makan pagi ini lebih lengang dari biasanya. Kukulum senyum karena teringat akan wajah mengambek Mama Ambar kemarin.

“Papa nanti pulang telat, Ma. Enggak usah nunggu Papa kalau mau makan malam.” Papa membuka suara.

“Oke,” Mama Ambar menjawab sambil tetap menatap piringnya.

“Maira mau Papa antar atau ….”

“Ada teman yang menjemput kok, Pa,” jawabku sebelum Papa menyelesaikan pertanyaannya.

“Pa, minggu depan kita memancing lagi, yuk. Kata Teman Evalia ada tempat mancung yang bagus di  Sleman.” Evalia membuka obrolan yang langsung ditanggapi Papa.

“Kolam pancing? Rumah makan pemancingan? Atau sungai? Kamu banyak teriaknya daripada dapat ikannya.”

“Kan aku kaget Pa, waktu umpanku dimakan ikan. Mana ikannya gede juga. Aku enggak kuat menariknya,” kilah Evalia sambil tertawa-tawa menceritakan kejadian saat memancing kemarin.

“Iya nih, kamu heboh sendiri. Mama sampai bingung mau bantuin.” Mama Ambar ikut menyahut.

“Untung aja, alat pancingnya enggak dilepas.” Papa kembali menimpali.

“Nah, Papa harus bersyukur karena itu. Bisa gawat kalau anakmu ini melepas alat pancingnya.” Mama Ambar tertawa menanggapi perkataan Papa.

“Bisa nangis semalaman ya, Pa?” tanya Evalia lalu terbahak. Diiringi suara tawa dari Mama Ambar dan Papa.

BrainwashNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ